WAYANG NUSANTARA YAMADIPATI.
Sak jelek-jeleknya Batara Narada yang perawakannya gemuk, pendek, dan
mekete, masih ada lucu-lucunya. Sekjen Dewata ini orangnya juga
kelihatan nggak punya beban apa-apa. Omongannya biasane pakai awalan
ngawur: blegenjong-blegenjong pak pak pong pak pak pong… Mahkamah
Konstitusi aja mungkin ndak tahu apa itu artinya dan apakah itu masih
konstitusional.
Ndak gitu dengan
Batara Yamadipati. Sak jelek-jeleknya Batara Petrajaya alias
Yamakingkarapati ini, babar blas sudah ndak ada jenaka-jenakanya. Dewa
Pencabut Nyawa yang Mabesnya di Neraka Yomani itu sudah wajahnya mirip
raksasa, masih ditekuk mendelep pula ke pangkal leher. Mulutnya selalu
mengengeh. Seolah ia tertawa tapi tak ada satu pun manusia yang sanggup
menyimpulkan bahwa itu tertawa.
Dan kening Yamadipati selalu
mengkerut. Kedua alisnya seolah-olah tak bisa dipisah-pisahkan seperti
NKRI. Hidupnya tidak seperti Narada alias Kanekaputra yang cengengesan
di mana-mana. Beban hidup Yamadipati tampak berat. Mungkin karena
pekerjaannya mencabut nyawa. Padahal dia sendiri tidak tahu siapa yang
kelak harus mencabut nyawanya sendiri. Tidak ada Komisi Pencabut Nyawa
di atas Yamadipati yang berwenang mencabut nyawa Yamadipati.
Hakim-hakim masih enak. Di atas mereka masih ada Komisi Yudisial. Pak
Busyro Muqoddas yang memimpin Komisi Yudisial itu kan kerjanya menilai
hakim. Hakim yang nggak becus menghakimi Gayus, akan gantian dihakimi
oleh Komisi Yudisial. Hakim yang memenangkan pra-peradilan Anggodo,
sehingga Bibit-Chandra dari KPK kembali jadi calon pesakitan, bisa
dihakimi oleh Komisi Yudisial.
Lha kalau Yamadipati nggak jegos mencabut nyawa masyarakat, siapa yang mencabut nyawa Yamadipati?
Ndak onok! Asli!
Banyak orang menyangka Yamadipati tak mati-mati saking asyik dan
sibuknya mencabut nyawa manusia sampai-sampai ia lupa mencabut nyawanya
sendiri. Ndak gitu. Tapi ini karena di atas Yamadipati tak ada lembaga
atau komisi independen yang berwenang memeriksa kalau perlu mengadilinya
dengan cara mencabut nyawanya.
”Kasus Century yang kabarnya
dikawal oleh satgas bikinan DPR saja tetap nggak jelas kapan selesainya
dan apakah benar-benar akan dirampungno, kan? Apalagi Yamadipati yang
nggak diawasi oleh siapa-siapa…tambah nggak jelas kapan selesainya,
kapan matinya,” kata Gareng. Ah, tapi nggak usah didengarlah. Bisa saja
Gareng cemburu. Yamadipati itu kan saudaranya sendiri tunggal bapak,
Semar.
Ringkas kata, menurut Bagong dan Petruk,
Yamadipati tuh merdeka. Jauuuuh… lebih merdeka dibanding orang
Indonesia. Orang-orang Nusantara kan, ”atas berkat rahmat Tuhan Yang
Maha Esa serta didorong oleh keinginan luhur”, menurut pembukaan
undang-undang dasar kan baru diantar ”hingga ke depan pintu gerbang
kemerdekaan”. Jadi, cuma anguk-anguk nduk depannya pintu gerbang
kemerdekaan, belum benar-benar diantar sampai mak plung masuk ke dalam
alam kemerdekaan.
Yamadipati merdeka. Lha wong rumah Yamadipati
alias Petrajaya ini saja dibangun khusus oleh Wismakarma, dewa arsitek.
Berbeda dibanding rumah-rumah dewa yang lain, rumah Petrajaya alias
Yamakingkarapati ini tempatnya tidak menentu. Rumah itu bisa
berpindah-pindah sendiri sesuai keinginan pemiliknya.
Merdekalah pokoknya anak Semar dari Dewi Kanastren ini!
Kapan nyawa seseorang akan dicabut, suka-suka Yamadipati. Dengan cara
apa nyawa seseorang itu akan dicabut, juga suka-suka Yamadipati.
Pokoknya bebas, sak karep-karepnya Yamadipati sendiri. Persis dunia
perpajakan. Apalagi pajak dan kematian kan sama. Dalam hidup ini yang
pasti kan cuma dua: kematian dan pajak.
Ya, orang-orang pajak
rumahnya memang nggak bisa berpindah-pindah sendiri sesuai keinginan
pemiliknya. Tapi rumah mereka kan juga ada di mana-mana. Mereka juga
bekerja suka-suka. Yang menilai pajak kita adalah orang-orang pajak.
Yang mengumpulkan uangnya adalah orang-orang pajak juga. Yang mengadili
perselisihan pajak adalah orang-orang pajak juga. Mestinya ketiga fungsi
itu kan dipisah-pisah lembaganya sehingga ketiganya bisa saling
mengawasi, saling plerak-plerok.
Mungkin orang-orang pajak
senang punya banyak kekuasaan di satu tangan. Mungkin lembaga perwakilan
rakyat juga belum kepikir untuk memperbaiki undang-undang sehingga
peradilan pajak kelak lebih otonom. Tapi Yamadipati tidak senang bekerja
tanpa pengawas yang otonom. Sebab Yamadipati adalah dewa yang jujur.
Bagi orang jujur, sangatlah jadi beban bekerja tanpa pengawas. Setiap
saat hanya dia sendiri yang menilai diri sendiri apakah pekerjaannya
sendiri itu benar atau salah.
Ya, bayangkan saja kayak apa
Yamadipati itu. Sudah jelek, ndak ada lucu-lucunya, beban hidupnya berat
pula. Pasti belum pernah ada perempuan yang mengintili-nya sepanjang
hayat. Tak heran malam itu hati Yamadipati seperti kajugrugan gunung
kembang karena dikintil oleh perempuan jelita bernama Retno Dewi
Sawitri.
Retno Sawitri sang juwita adalah
perempuan yang dari tubuhnya selalu terkuak campuran wangi melati dan
sedap malam. Perempuan lencir kuning ini adalah putri Prabu Aswapati
dari Kerajaan Mandaraka, leluhur Prabu Salya. Prabu Salya adalah mertua
Baladewa, Adipati Karna dan Duryudana.
Tak selazim kaum
perempuan lain dalam zamannya, pada suatu ketika Sawitri malah
dipersilakan secara merdeka memilih calon suaminya sendiri. Pilihan
Sawitri ternyata Bambang Setiawan dari pertapaan Argakenanga padahal
Sawitri tahu lelaki ini ajalnya tak lama lagi tiba.
Saking
trenyuh dan kagumnya Yamadipati pada cinta Sawitri terhadap sang suami,
di saat ajal yang telah ditentukan Yamadipati tak jadi mencabut nyawa
Setiawan. Sebelum balik kanan di bawah pohon sukun, Yamadipati malah
mempersilakan Sawitri mengajukan permohonan yang pasti akan dikabulkan
Dewa Maut itu, asal jangan meminta pembatalan pencabutan nyawa sang
suami.
”Hamba tidak memohon pembatalan. Hamba cuma memohon
penundaan barang sejam dua jam. Izinkan kami suami-istri ini berkumpul
berolah asmara, andon katresnan, melakoni ulah kridaning priyo-wanodya.
Maaf, hamba ingin punya anak sepuluh dalam sekali bercinta.”
Angin meniup daun-daun mahoni, akasia, dan bunga tanjung yang tumbuh di
pekarangan rumah Sawitri. Sesuai janjinya, Yamakingkarapati mengabulkan
permintaan Sawitri yang diajukan sambil bersimpuh dan menangis. Setelah
semuanya berlangsung, Dewa Maut Petrajaya mencabut nyawa Setiawan
diiringi lagu lama Kematian Rhoma Irama ”…suatu saat pasti kan
dataaaaang… sang malaikat pencabut nyawaaa.. kan mencabut rohmu dari
badaaan….”
Kini Yamadipati sudah berjalan cukup
jauh sejak pergi dari rumah Sawitri. Lebih jauh dibanding jarak antara
kediaman para mafia pajak di Jakarta dan rumah-rumah mafia pajak di
Surabaya. Lalu Dewa maut itu berhenti. Ngaso di bawah pohon kenari. Ia
bertanya pada Sawitri yang masih membuntutinya, ”Mengapa kamu cukup
kuat, tabah, dan sabar mengikuti langkahku sampai sejauh ini, Sawitri.
Sudah berhari-hari lho kamu ikuti aku setelah di rumahmu aku cabut nyawa
suamimu, Raden Setiawan? Mana sekarang kamu sedang hamil pula?”
”Karena hamba kagum pada pukulun Yamadipati. Izinkanlah hamba mengikuti
tokoh yang paling saya kagumi selama masih napak bumi, sebelum pukulun
naik ke kahyangan. Hamba tak dapat terbang. Selagi bisa berdekatan,
izinkan hamba tut wuri pukulun, dewa yang sangat tampan.”
”Hah? Ojok guyon ah, Sawitri. Raiku kayak raksasa gini…”
”Betul, pukulun. Ngganteng atau tidak seseorang itu kan tergantung hati
yang melihatnya. Kelak akan ada Dewi Arimbi. Dewi Arimbi itu raksasa.
Tapi di mata Bima, Arimbi adalah perempuan yang cantik sekali. Sama, di
mata hamba, pukulun dewa yang cakep sekali.”
”Hmmm…Kamu naksir aku, Sawitri?”
”Duh, pukulun, bukan begitu. Tapi hamba kagum terhadap pukulun. Pukulun
sangat sakti dan berkuasa. Apalagi memiliki senjata Kaladenda yang
Dasamuka saja takut. Tetapi pukulun diam saja ketika istri pukulun, Dewi
Mumpuni, takut melihat wajah pukulun dan berselingkuh dengan Bambang
Nagatatmala, putra Sang Hyang Antaboga. Bahkan pukulun menyerahkan Dewi
Mumpuni kepada Bambang Nagatatmala.”
Yamadipati trenyuh.
”Sawitri,” katanya, ”Kamu sangat setia pada suamimu. Berbeda dibanding
Dewi Mumpuni. Aku kagum. Kini mintalah satu hal lagi padaku yang pasti
akan aku kabulkan.”
Seperti pada relief di Candi Penataran
dekat Blitar, Sawitri memohon pada Yamadipati agar suaminya, Setiawan,
dihidupkan kembali, karena kesepuluh anaknya kelak memerlukan figur ayah
yang tak bisa digantikan lelaki lain seperti saran Yamadipati
sebelumnya.
(O ya, kenapa kok cuma sepuluh anak yang kelak akan
jadi pemuda, bukan 100 anak seperti dalam pakem pedalangan? Karena
menurut tokoh dunia kelahiran Blitar, jutaan orang tua tak akan sanggup
mengubah situasi pasca Century seperti sekarang, ”tapi berikan padaku
sepuluh pemuda saja, dan aku akan mengubah dunia!!!”) ***
.sujiwotejo.
— di WAYANG NUSANTARA.