Sabtu, 26 Maret 2011

Ahir perjalanan sang DRUPADI menghantar DARMA SUCI menuju nirwana...DAN SEMPURNALAH JAMUS KALIMASADA.

Ahir perjalanan sang DRUPADI menghantar DARMA SUCI menuju nirwana...DAN SEMPURNALAH JAMUS KALIMASADA.
 drupadi
 ku awali pusaran maha cinta ini di airmu yang bening tempat ku membasuh diri ..dimana kan kutumpahkan segala kerinduanku padamu

Kelahiran Drupadi

Inilah sosok Drupadi yang lahir karena dendam, menanggung dendam dan membawa dendam dalam sepanjang hidupnya – wanita yang lahir dari api


Drupadi lahir dari api suci upacara putrakarma yang dilakukan oleh raja Drupada dari kerajaan Panchala karena dendamnya kepada Drouna sahabatnya yang telah mempermalukan dirinya. Rasa sakit hati dan dendam yang mendalam membuat Raja Drupada mengadakan upacara suci putrakarma memohon kepada dewata agar dikaruniai anak sempurna yang akan membalaskan sakit hatinya atas perlakuan Drauna yang telah menawan dirinya dan mempermalukan dirinya di depan murid-muridnya. Drouna yang telah menyuruh Arjuna dan Bima berhasil menawan Raja Drupada dan membawa Raja Drupada kepadanya dalam keadaan terikat. Rasa malu yang ditanggungnya membuat ia bersumpah untuk membalas perlakuan Drouna.



Permohonan Drupada terkabul dari dalam api korban suci keluar dua sosok pribadi yang dianugerahkan dewata kepadanya. Sesosok laki-laki tampan lengkap dengan pakaian perang yang gagah perkasa dan diberinya nama Drestadyumna dialah yang nantinya akan membalaskan dendam Drupada membunuh Drouna. Dan sesosok perempuan yang cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman dan rambut kebiru-biruan dialah Drupadi. Dialah Khrisna karena warna kulitnya kehitam-hitaman, dialah Panchali karena dia putri Panchala dan dialah Drupadi karena dia putri Raja Drupada.
Drupadi lahir membawa dendam untuk membalaskan sakit hati ayahandanya. Dia memilih jalannya dan menjalani takdirnya, sebagaimana yang tersirat dari pesan dalam batin dan doa ayahandanya untuk mencari sosok laki-laki sempurna yang akan mendukungnya dan sekaligus dalam genggaman kekuasaannya. Dan dalam kelembutannya Drupadi mempunyai kekuatan untuk itu. Karena dia anugerah dewata.
Drupada dan Drouna adalah sahabat karib yang tak terpisahkan, waktu masih sama-sama belajar pada seorang brahmana miskin putra Baradwaja. Persahabatan yang tulus dan sehati waktu masih sama-sama sependeritaan dalam belajar di pertapaan. Drouna adalah seorang yang miskin, sedangkan Drupada adalah putra seorang raja kerajaan Panchala, tetapi tidak ada perbedaan dan tidak ada jarak sebagai sesama murid di pertapaan itu. Yang ada adalah saling berbagi dan saling mendukung sebagai sahabat. Mereka tak terpisahkan. Bahkan sempat terlontar ucapan Drupada kepada Drouna, kelak bila ia menjadi raja maka ia akan memberikan sebagian kerajaannya kepada Drouna. Dan Drouna memegang janji itu. Waktu terus berlalu, sampai kemudian tiba saatnya mereka selesai belajar dan berpisah. Drupada kembali ke kerajaan Panchala, sementara Drouna yang miskin meneruskan belajar ilmu dengan mengembara dan menjalani hidup sebagai pertapa.
Dan akhirnya sepeninggal ayahandanya Drupada benar-benar menjadi raja, dan menikmati hidup sebagai raja yang mempunyai kekuasaan dan disibukkan dengan berbagai urusan kerajaan. Waktu terus berlalu sementara Drupada hidup sebagai raja, Drouna terus dalam pengembaraannya dan persahabatan mereka terputus sekian lama. Sampai suatu saat Drouna teringat ucapan sahabatnya sewaktu masih sama-sama belajar di pertapaan dulu, dengan harap-harap cemas berangkatlah ia ke kerajaan Panchala, kerinduannya pada sahabat membuat langkahnya makin mantap ke kerajaan Panchala, ditambah keadaan dirinya dan anak isterinya yang hidup miskin tidak ada pengharapan lagi. Kemana lagi jika bukan pada sahabat lamanya Drupada.
Manusia boleh berencana dan berjanji muluk-muluk, tetapi keadaan dan kenyataan hidup bisa mengubah segalanya. Dan semua janji yang nampaknya indah di awal bisa lain kenyataan di kemudian hari. Drouna yang berangkat dengan penuh harapan dan keyakinan, alangkah terkejutnya mendapat perlakuan Drupada sahabatnya dahulu. Belumlah sempat terlontar ucapan untuk menagih janji, Drouna sudah diusir dengan perlakuan kasar dan ucapan yang menyakitkan hati. Drupada tidak mengakui Drouna sebagai sahabatnya, tidak layak seorang raja Panchala berteman dengan seorang brahmana miskin seperti Drouna. Lain sekali dengan ucapan Drupada waktu masih sama-sama menderita sebagai murid di pertapaan. Kekuasan dan kelimpahan telah melupakan semuanya. Drouna diusir dan tidak diakui sebagai sahabat Drupada. Rasa kecewa dan sakit yang mendalam dialami Drouna, begitu mudahnya Drupada melupakan persahabatan mereka. Berakhirlah persahabatan mereka dengan meninggalkan luka yang mendalam dalam diri Drouna, rasa kecewa, sedih, malu dan sakit hati dia bawa keluar dari istana kerajaan Panchala dan melahirkan dendam dalam diri Drouna. Dia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di kerajaan Panchala lagi dan akan membalas perlakuan Drupada saatnya kelak.
Kepedihan dan sakit hati yang dialami Drouna dia bawa dalam pengembaraannya meninggalkan kerajaan Panchala. Dia ikuti jalan hidupnya yang tiada menentu entah membawanya kemana. Beruntunglah nasib baik membawa Drouna ke Kerajaan Hastina. Dan di Hastina Drouna diterima menjadi guru bagi putera-putera kerajaan, dia menjadi guru dari Kourawa dan Pandawa. Disinilah titik awal Drouna akan memulai hidup barunya. Rasa berhutang budi, dan rasa terima kasihnya kepada kerajaan Hastina, dia curahkan pengabdiannya pada kerajaan Hastina, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama Drouna mendapat tempat terpercaya di kerajaan Hastina. Meskipun sebenarnya di dalam hatinya menunggu kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya kepada Drupada yang telah mengkhianati persahabatan dan mempermalukan dirinya di hadapan rakyat Panchala.

Drouna melihat bakat di antara anak-anak Kourawa dan Pandhawa, tetapi nampaknya anak-anak Pandhawa lebih serius dalam belajar dibandingkan anak-anak Kourawa. Dan anak-anak Pandhawa mempunyai bakat dan kemampuan lebih selain budi pekerti yang jauh lebih baik dari anak-anak Kourawa. Drouna jatuh hati pada anak-anak ini, diberikannya seluruh ilmunya. Berbagai ilmu kanuragan, teknik berperang, menggunakan senjata dan lain sebagainya. Kini kesempatan untuk membalas dendam dapat ia wujudkan.
Setelah waktunya dirasa cukup, Drouna mengetes murid-muridnya. Disuruhnya murid-muridnya menyerang Kerajaan Panchala dan menawan raja Drupada dan membawanya ke hadapannya dengan catatan jangan dilukai cukup diikat saja. Pertama-tama disuruhnya Kourawa berangkat, tetapi Kourawa tidak berhasil mereka pulang dengan tangan hampa. Kemudian Pandhawa disuruhnya berangkat, dan Pandhawa berangkat dan berhasil menyerbu kerajaan Panchala. Arjuna dan Bima berhasil menangkap dan mengikat raja Drupada dan membawanya ke hadapan Drouna. Inilah kesempatan yang ditunggu Drouna bertahun-tahun.
Dan di hadapan murid-muridnya Drouna menagih janji raja Drupada sahabatnya dulu. Kini raja kerajaan Panchala dalam tawanannya, artinya kerajaan Panchala ada dalam genggaman Drouna, dan Drouna bisa bertindak apapun. Tetapi Drouna hanya mengingatkan dan memberi pelajaran kepada Drupada agar berlaku sebagai raja yang bijak. Dan selanjutnya raja Drupada dilepaskan lagi, dan disuruhnya Arjuna dan Bima mengantarkan Drupada kembali ke kerajaannya dan memperlakukan dia layaknya sebagai seorang raja. Drupada tidak mengiyakan atau menolak permintaan Drouna untuk membagi setengah dari kerajaannya. Tapi rasa malu yang diterimanya melahirkan dendam dalam hati Drupada. Adalah lebih baik mati dibunuh daripada diperlakukan demikian.
Drupada tidak segera kembali ke kerajaan tetapi mengembara mencari orang yang bisa membantu membalaskan dendamnya kepada Drouna kelak. Sedangkan dia melawan muridnya pun dia kalah. Ia iri pada Drouna yang mempunyai banyak murid yang taat kepadanya, sedangkan ia hanya memiliki seorang anak banci yang mempunyai sifat kewanita-wanitaan Sri Kandhi. Dia menginginkan seorang anak laki-laki yang sempurna gagah perkasa. Dalam pengembaraannya Drupada bertemu dengan brahmana Yodya dan Upayodya yang bersedia membantu Drupada mencapai cita-citanya. Setelah bertapa dua tahun, Drupada kembali ke kerajaan Panchala. Kemudian diadakanlah upacara putrakarma, memohon kepada dewata agar dikaruniai anak yang sempurna.
Permohonannya terkabul, dari dalam api suci keluar sosok laki-laki tampan gagah perkasa lengkap dengan membawa senjata, disusul kemudian sosok perempuan cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman. Drestadyumna adalah sosok yang dilahirkan untuk membalas dendam sakit hati ayahandanya untuk membunuh Drouna. Sedangkan Drupadi sosok yang dilahirkan dari rumitnya jiwa dan takdir yang harus dijalani manusia. Dan dia memahami kegundahan hati ayahnya, karena memiliki anak yang menurut pandangan umum kurang dihargai seorang banci Sri Kandhi.
Sri Kandhi adalah putra sulung Drupada, dia setengah pria dan setengah wanita. Dia banci. Kekecewaan tak dapat disembunyikan dalam diri Drupada, dia menginginkan anak lelaki yang sempurna atau wanita yang sempurna. Tetapi apa yang dipikirkan manusia berbeda dengan apa yang dikehendaki dewata. Sri Kandi membawa takdirnya sendiri yang tidak dipahami manusia. Dialah kelak yang akan mempermalukan keangkuhan manusia. Dialah kelak yang akan sanggup membunuh seorang kesatria besar yang disegani di seluruh negeri, disaat semua kesatria tidak ada yang sanggup mengalahkannya. Dialah Sri Kandhi kelak yang akan sanggup membunuh Bisma. Dan kelak seluruh dunia akan tahu, bahwa seorang kesatria besar ternyata kalah hanya oleh seorang banci.
Drupadi berdiri di tengah-tengah antara jiwa seperti Sri Kandhi dan jiwa seperti semua keinginan ayahnya yang tak terucap, tapi dapat dipahami dalam batinnya. Drupadi menghargai kakaknya Sri Kandhi dan memahami jiwanya, kegelisahannya, disisi lain dia juga memahami keinginan ayahanda mereka. Drupadi memahami kepedihan yang dialami oleh seorang yang terlahir tidak sempurna, dan kecewa dengan sikap manusia yang tidak mampu menghargai ketidaksempurnaan, tetapi dalam diri Drupadi juga menghargai kesempurnaan, dan menginginkan kesempurnaan. Kerumitan ini melahirkan sikap tersendiri yang sulit dimengerti orang lain tapi dapat dipahami dalam jiwa manusia yang terdalam. Dendam, yah. Sebuah pilihan yang harus diambil atau dibuang, dan dua-duanya mempunyai resiko dan tanggungjawab moral masing-masing. Sebuah dilema yang sulit pun harus tetap mengambil keputusan. Dan Drupadi mengambil keputusan untuk menjadi dirinya, terlepas dari apakah itu sejalan atau menuruti keinginan ayahandanya atau tidak, Drupadi tetap Drupadi dan kelak pada akhir hidupnya orang baru dapat mengerti Drupadi. Tetapi sepanjang hidup Drupadi, tidak ada yang memahami jiwanya. Dialah api suci. Dialah yang harus mengakhiri dendam diantara semua dendam, dia tahu jalannya, dan dia pilih jalannya.

Perkawinan Drupadi

 Inilah pilihan hidup yang dijalani Drupadi mencari laki-laki sempurna. Dalam suatu kesematan Khrisna menjawab Drupadi atas pertanyaan yang menggelisahkan hatinya. Atas keinginannya untuk memenuhi kemauan ayahandanya mencari sosok laki-laki sempurna, atas pertanyaan dalam hatinya apakah kakaknya Drestadyumna belum cukup sempurna, dan atas semua pertanyaan yang tidak terungkapkan dalam kata-kata tetapi dimengerti sri Khrisna.

Tibalah waktunya bagi Drupadi untuk memiliki calon suami. Suami yang tentunya gagah perkasa dan kuat seperti keingingan ayahnya Drupada. Raja Drupada mengadakan sayembara memanah. Barangsiapa dapat memanah suatu sasaran dengan tepat lima kali berturut-turut dialah calon suami Drupadi.

Sayembara ini diikuti oleh seluruh kesatria dari berbagai negeri dan kerajaan. Tidak kalah ketinggalan putera-putera Korawa dari Hastina, dan para Pandhawa yang tengah menyamar sebagai brahmana karena pada waktu itu Pandhawa sedang dalam masa pembuangan. Para peserta sayembara mencoba mengangkat busur, memasang anak panah dan membidik sasaran. Sasaran ditempatkan dalam posisi yang terus berputar sehingga sulit bagi peserta untuk membidik dengan tepat. Hampir semua peserta gagal. Karna adalah seorang peserta yang berhasil memanah dengan tepat mengenai sasaran, tetapi Drupadi menolak karena Karna hanya putera seorang kusir bukan dari golongan kesatria. Karna, sakit hati tapi tak dapat berbuat apa-apa. Para peserta menggerutu dan menganggap sayembara itu hanya permainan karena sulit bagi peserta untuk membidik dengan tepat.
Akhirnya tampilah seorang brahmana muda yang atas persetujuan Drupada diizinkan mengikuti sayembara. Brahmana muda yang tidak lain adalah Arjuna, berhasil memanah dengan tepat mengenai sasaran lima kali berturut-turut bahkan sasaran sampai terjatuh.

Bersoraklah seluruh peserta dan raja Drupada atas keberhasilan brahmana muda itu, meskipun beberapa kesatria memprotes tindakan raja Drupada yang mengizinkan brahmana ikut sayembara. Keributan tak dapat dihindari, Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga ibunda mereka Kunti, Khrisna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Drupadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Drupadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.

Panah Brahmasta Jemparing Sukma Sang Maha Cinta

Drestadyumna yang curiga dengan brahmana muda itu mengikuti dari belakang kemana perginya brahmana itu dan dibawa kemana adiknya. Dan setelah tahu bahwa brahmana muda itu adalah Arjuna maka legalah hatinya, karena Drupadi berada pada orang yang tepat dan dilaporkannya hal itu pada ayahandanya Drupada. Raja Drupada yang mendengar hal ini menjadi lega, karena jalan untuk membalaskan dendamnya sudah terbuka. Kini ia dapat menguasai Arjuna dan para Pandhawa untuk membalas sakit hatinya pada Drouna.
Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Drupadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Kunti tidak mau berdusta maka tak pelak lagi Drupadi pun menjadi istri dari kelima anaknya, dengan catatan masing-masing digilir satu tahun dan selama itu masing-masing tidak boleh saling memergoki saudaranya yang sedang berdua dengan Drupadi. Keputusan ini ditaati oleh putera-putera Kunti. Dan mereka tidak pernah membantah kata-kata ibundanya.
Drupadi tertegun. Sejenak tak dapat berkata-kata. Kegamangan, kerisauan dan sejuta rasa dan pikiran menerawang jauh entah kemana, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Rasa senang dan puasnya karena dia berhasil menyanding Arjuna, berubah menjadi tidak karuan ketika menghadapi kenyataan bahwa ia harus menjadi isteri dari kelima Pandhawa. Artinya dia harus membagi cinta, kasih sayang dan pengabdian kepada lima lelaki yang tentunya berbeda karakter dan pembawaannya, dengan cukup adil dan membahagiakan. Sanggupkah ia melakukan semua ini. Terbersit kengerian, ketakutan dan kegelisahan, disamping juga rasa puas dan bangga memiliki lima lelaki dalam hidupnya, yang mungkin jarang bisa didapat dan dilakukan oleh seorang perempuan.

Terbersit pertanyaan dalam hatinya apakah ini terkabulnya permohonannya kepada dewata agung untuk memiliki suami yang sempurna, ataukah kutukan atas permintaannya. Tetapi sejuta tanya itu disimpannya dalam hati, kekagumannya kepada ibunda Kunti menguatkannya untuk menjalani semua ini dengan baik. Apalagi budi pekerti kelima putera Pandhu ini sangat menawan hati. Mereka sehati dan tidak pernah bermusuhan, selalu akur, segala perkara bisa diselesaikan dengan baik. Dan inilah yang menguatkannya untuk berani menjalani takdirnya memiliki lima suami. Inilah Drupadi dan inilah jalan hidupnya. Inilah Drupadi yang lahir dari api suci, lahir dari dendam untuk mengakhiri dendam baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan memutus mata rantai dendam yang tak berkesudahan, dan mengembalikan roda dharma pada tempatnya, dengan menanggung jalan hidupnya. Disamping mengikuti dendam ayahnya Drupadi juga perempuan yang punya perasaan terhadap lelaki.
Dalam suatu kesempatan Khrisna menjawab pertanyaan Drupadi:
Permohonan Drupadi di kabulkan dewata agung tetapi karena
manusia memang tidak ada yang sempurna maka takdir Drupadi
harus menikah dengan 5 orang pria yang masing-masing mewakili kesempurnaan
(Yudisthira = kebijaksanaan, Bhima = Kekuatan, Arjuna – Keterampilan, Nakula =
Kecakapan Fisik, Sadewa = Kecerdasan ) dan takdir ini mengambil jalan melalui
ucapan Kunti yang mengatakan “bagilah dengan saudara-saudaramu”



akhir dari kehidupan para ksatria pandawa dan tujuan akhir yang dicari dalam kehidupannya:
 pada hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya. Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan
Ahir perjalanan sang DRUPADI
Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia membawa dosa?
drupadi

Yudhistira: “Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah yang akan ia bawa,” jelasnya.
SYAHADAT SANG DRUPADI TAK PERNAH SAMPAI KEPADA YUDISTIRA...DAN HANYA SAMPAI KEPADA ARJUNA..MAKA DIMASA KEHIDUPAN YANG LALU IA TAK PERNAH MENCAPAI MOKSA...DAN DIKEHIDUPAN YANG SEKARANG AKANKAH PERISTIWA ITU KEMBALI TERULANG...SELAGI NAFAS MASIH BERSEMAYAM DIJANTUNGMU..
sadewa




Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: “Kakang lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?
Yudhistira: “Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika masih hidup Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan. Itulah dosanya.
Perjalanan diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun terjatuh dan menghembuskan nafas yang terakhir. 


 nakula

Bima kembali bertanya: “Kakang Yudhistira, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?
Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur. Begitupun Nakula. Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita,” jelasnya.





arjuna




Belum kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra “Apakah dosanya Kang?
Yudhistira: “Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata, sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya.



bima


Tak berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: “Oh, kakang tolong aku, badanku gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang…: Adikku Bima, engkau makan sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh makanan. Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan,” dan sang Bima pun menemui ajalnya.




yudistira (punta dewa/sami aji)




  Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani anjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: “Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal perbuatannya.
Kemudian ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku yang setia, engkau telah menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia menyertaiku.” Baru saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di hadapan Yudhsitra seraya bersabda: “Ya Yudhistira, janganlah engkau bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta, engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai penghargaan atas keutamaanmu.
Yudhistira : “Ya sang Pikulun, hamba sangat bersyukur mendapat anugerah yang tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka membawa hamba.” “katakan apa yang kau minta?” tanya Indra. “Hamba mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke swarga,” pintanya.
Indra : “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang teramat suci tanpa noda sedikit pun. Seedang anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu jangalah engkau memikirkannya, walaupun ia setia padamu.
Yudhistira : “Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh perjalanan yang amat jauh bersama hamba,” jawab Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.
Yudhistira : “Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka. Dan kini seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan dia,” kilahnya.
Tiba-tiba anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira merangkul dan bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika saudara-saudaramu mati di tepi hutan karena minum air kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna saudara sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada kasih sayang. Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu.




syang hyang darma suci






Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata tak seorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duudk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: “Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?” Batara Narada yang menyertai terusik rasa, tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: “Wahai Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa mengganjar dengan kemulian.
Hamba tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah tempat berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.
Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya berkumpul. Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat. Tak lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak yang sangat panas ini, begitu tuan datang mendadak menjadi sangat dingin bagai hawa di pegunungan.
Ternyata yang berbicara bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang sedang mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.” Lalu lainnya: “Saya Arjuna,” demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar godongan minyak itu tetap dingin.
Tetapi tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian bersabda:
Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu, siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke nereka. . Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga. Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang tuan mengatakan bahwa Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara tuan masuk kenera karena ada dosanya. Tetapi sejak hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah, biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.
Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan.

Sanghyang sukma sejati....engkang anglenggahi telenging ati..menopo tego loro tego pati panjenengan sowan piyambak ing ngarsanipun....yo yo raganiro...jeneng siro wus mangerteni babakan iki kanthi lumantar guru sejatiningsun nora susah rogoniro bali menyang patang anasir..hayo nggayuh sampurnaning dumadi (jeneng siro bakal kawedar babakan kamuksan.ateges sampurno lan paripurno)

Selasa, 22 Maret 2011

MANUNGGAL RASA

MANUNGGAL RASA


 Dialah Allah Rabb yang merangkai indahnya kehidupan mahkluk sagung dumadi...
Yang merubah hukum yang haram menjadi halal dengan PERTEMUAN AGUNG dua kalimah syahadat

Selasa, 15 Maret 2011

cukuplah rasa ini untukku sebagai qudsi pribadiku.







satriya piningit...ia terpingit direlung kalbu sanubari setiap insan..terkurung ...didinding pagar aneka warna dari maujudnya...saripati tanah air angin dan api...dialah sang penggembala nafsu insani dari amarah,aluamah .sufiah dan mutmainah...duduk ditengah diantara mahligai sareat .torekot.hakekat.makrifat.
figur bocah angon hadir di setiap zaman yang mana di zaman itu keadaan sudah rusak parah di segala aspek..dizaman yang serba rusak inilah ALLAH membimbing cahayanya kepada mereka yang di kehendaki...geliat semesta bukan karena disebabkan murkanya SANG MAHA KASIH..namun alam di dalam diri manusiannya itu sendiri yang .merusaknya....maka geliat alam adalah proses menuju kesempurnaan ..menata kembali keseimbangannya...sholatul ilmi seorang hamba adalah menata kembali kesimbangan makro dan mikro kosmos jagad AGUNG jagad alit...didalam dirinnya....dan tentu..sudah bisa dibayangkan akibat dari itu...MAHA CINTA MENARIKAN BINTANG GEMINTANG



Jika Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba mk Allah
subhanahu wa ta’ala akan memilih dia utk diri-Nya sebagai tempat
pemberian ni’mat-ni’mat-Nya dan Ia akan memilih di antara
hamba-hamba-Nya sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapan hanya
kepada Allah.لا إله إلا الله محمد رسولالله



istirahatlah wahai diriku dengan menyebut satu asmanya yg paling rahasia yg ia sukai..

kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan di bumi dialah yg mempunyai singasana
yg agung yg melahirkan sejuta cinta di hatimu...cintamu kan membawamu
kedalam ruangnnya...dan ia kan mencari zat dan sifat yg mampu
berpadu..dalam kasanah dua kalimat syahadat.


An-Nuur:035
اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


DEWA RUCI

DEWA RUCI 1

 

 

oleh Agung Pambudi pada 01 September 2010 jam 1:16
Kidung Dhandhanggula

Arya Sena duk puruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen ngulatana, toya ingkang nucekake, marang sariranipun, Arya Sena alias Wrekudara mantuk wewarti, marang negeri Ngamarta, pamit kadang sepuh, sira Prabu Yudistira, kang para ri sadaya nuju marengi, aneng ngarsaning raka.
Artinya :
Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mencyucikan, kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pulang memberi kabar, kepada negeri Ngamarta, mohon diri kepada kakaknya, yaitu Prabu Ydistira, dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan di hadapan kakaknya.
Arya Sena matur ing raka ji, lamun arsa kesah mamprih toya, dening guru piduhe, Sri Darmaputra ngungun amiyarsa aturing ari, cipta lamun bebaya, Sang Nata mangungkung, Dyan Satriya Dananjaya, matur manembah ing raka Sri Narpati, punika tan sakeca.
Artinya :
Arya Sena berkata kepada Kakanda Raja, bahwa ia akan pergi mencari air, dengan petunjuk gurunya, Sri Darmaputra heran mendengar kata adiknya, memikirkan mara bahaya, Sang Raja menjadi berduka, Raden Satriya Dananjaya, berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja, bahwa itu tidak baik.
Inggih sampun paduka lilani, rayi tuwan kesahe punika, boten sakeca raose, Nangkula Sadewaku, pan umiring aturireki, watek raka paduka, Ngastina Sang Prabu, karya pangendra sangsara, pasthi Druna ginubel pinrih ngapusi, Pandawa sirnanira.
Artinya :
Sudahlah jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi rasanya itu tidak baik, Nakula dan Sadewa, juga menyetujui kata-kata Dananjaya, sifat kakanda tuanku, yang tinggal di Ngastina, hanya ingin menjerumuskan ke dalam kesengsaraan, tentu Druna dibujuk agar medustai, demi musnahnya Pandawa.
Arya Sena miyarsa nauri, ingsun masa kenaa den ampah prapteng tiwas ingsun dhewe, wong nedya amrih putus, ing sucine badanireki, Sena sawusnya mojar, kalepat sumebrung, sira Prabu Darmaputra, myang kang rayi tetiga ngungun tan sipi, lir tinebak wong tuna.
Artinya :
Arya Sena mendengar itu lalu menjawab, aku tak mungkin dapat ditipu dan dibunuh, karena ingin mencari kesempurnaan, demi kesucian badan ku ini, setelah berkata begitu, Sena lalu segara pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran, bagaikan kehilangan sesuatu.
Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa Sena lampahira, tanpa wadya among dhewe, mung braja kang tut pungkur, lampah mbener amurang margi, prahara munggeng ngarsa gora reh gumuruh, samya giras wong padesan, ingkang kambuh kaprunggul ndarodog ajrih mendhak ndhepes manembah.
Artinya :
Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedian, diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, berjalan lurus menentang jalan, angin topan yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan sambil menyembah.
Ana atur segah tan tinolih, langkung adreng prapteng Kurusetra, marga geng kambah lampahe, glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwung, lir kumembaring baskara, kuneng wau kang lagya lampah neng margi, wuwusen ing Ngastina.
Artinya :
Kesediaan yang sudah disanggupi tak mungkin ditolehnya, sangat kuat tekatnya untuk menuju hutan Kurusetra, jalan besar yang dilaluinya, sungguh cepat jalanya, pintu gerbang tampak dari kejauhan, puncaknya seperti mutiara berbinar-binar, dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar, sampai di sini dulu kisah perjalanan Arya Sena Wrekudara, sekarang dikisahkan keaadaan di negeri Ngastina.
————- Di Negeri Ngastina ————-
Prabu Suyudana animbali, Resi Druna wus prapteng jro pura, nateng Mandraka sarenge, Dipati Karna tumut, myang Santana andeling westi, pan sami tinimbalan, marang jro kadhatun, Dipati ing Sundusena, Jayajatra miwah sang patih Sangkuni, Bisma myang Dursasana.
Artinya :
Prabu Suyudana memanggil, Rsei Druna sudah tiba di dalam istana, bersama Raja Mandaraka, Adipati Karna pun ikut dan sentana/pembesar andalan menumpas bahaya, semua dipanggil, masuk keistana, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Sang Patih Sangkuni, Bisma dan Dursasana.
Raden Suwirya Kurawa sekti, miwah Rahaden Jayasusena, Raden Rikadurjayane, prapteng ngarsa sang prabu, kang pinusthi mrih jayeng jurit, sor sirnaning Pandhawa, ingkang dadya wuwus, ajwa kongsi Bratayuda, yen kenaa ingapus kramaning aris, sirnaning kang Pandhawa.
Raden Suwirya Kurawa yang sakti, dan Raden Jayasusena Raden Rikadurjaya, tiba dihadapan Raja, yang disembah agar menang dalam perang, mengalahkan para Pandawa, yang menjadi dalam pembicaraan, jangan sampai terjadi perang Baratayuda, bila dapat ditipu secara halus, kemusnahan sang Pandawa.
Golong mangkana aturnya sami, Raden Sumarma Suranggakara, anut rempeg samya ture, wau sira sang prabu, Suyudana menggah ing galih, datan pati ngarsakna, ing cidranireki, kagagas kadang nak sanak, lagya eca gunem Wrekudara prapti, dumorojog munggeng pura.
Artinya :
Mereka sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan, demikian Sang Prabu, Suyudana dalam hatinya, tidak begitu dirasakan, tentang kecurangannya, memikirkan saudara dekat, ketika sedang asyik bercakap-cakap Wrekudara datang, terburu-buru masuk ke istana.
Kagyat obah kang samya alinggih, Prabu Duryudana lon ngandika, yayi den kapareng kene, Dyan Wrekudara njujug Dhang Hyang Druna sigra ngabekti, rinangkul jangganira, babo suteng ulun, sira sida ngulatana, tirta ening dadi sucining ngaurip, yen iku ketemua.
Artinya :
Terkejutlah semua yang hadir, Prabu Dryudana berkata pelan, adikku marilah kesini, Raden Wrekudara langsung menghadap Dhang Hyang Druna segera meyembah, dirangkul/dipeluk lehernya, wahai anakku, kau jadi pergi mencari, air jernik untuk menyucikan diri, jika itu telah kau temukan.
Tirta nirmala wisesaning urip, wus kawengku aji kang sampurna, pinunjul ing jagad kabeh, kauban bapa biyung, mulya saking sira nak mami, leluwihing triloka, langgeng ananipun, Arya Sena matur nembah, inggih pundi prenahe kang toya ening, ulun mugi tedahana.
Artinya :
Air suci penghidupan, sudah berarti kau mencapai kesempurnaan, menonjol di antara sesama makhluk, dilindungi ayah ibu, mulia darimu anakku, berada dalam triloka, adanya kekal, Arya Sena berkata sembah, ya dimanakah tempatnya sang air jernih, mohon aku ditunjukkan.
Sayektine yen ulun lampahi, Resi Druna alon wuwusira, adhuh suteng ulun angger, tirta suci nggenipun, pan ing wana Tibrasareki, turuten tuduhingwang, banget parikudu, nucekaken ing badanira, ulatana soring Gadawedaneki, ing wukir Candradimuka.
Artinya :
Sungguh akan kutunjukkan, Resi Druna lirih kata-katanya, aduh anakku tercinta, air suci letaknya, berada di hutan Tibrasara, ikutilah petunjukku, harus diperhatikan, itu akan menyucikan dirimu, carilah di bawah Gandawedana, di gunung Candramuka.
Drungkarana ing wukir-wukir, jroning guwa ing kono nggonira, tirta nirmala yektine, ing nguni-uni durung, ana kang wruh ngone toya di, Arya Bima trustheng tyas, pamit awot santun, mring Druna myang Suyudana, Prabu ing Ngastina, angandika aris, Yayi Mas den prayitna.
Artinya :
Carilah di gunung-gunung, di dalam gua gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina, berkata pelan, berhati-hatilah adikku.
Bok kasasar nggonira ngulati, saking ewuhe panggonanira, Arya Sena lon wuwuse, nora pepeka ingsun, anglakoni tuduh sang Yogi, Bima gya pamit medal, lajeng lampahipun, kang maksih aneng jro pura, samya mesem nateng Mandraka nglingnya ris, kaya paran solahnya.
Artinya :
Jangan sampai tersesat dalam usaha mencari, oleh sulitnya letak air suci itu, Arya Sena menjawab pelan, aku tidak akan mengalami kesulitan, dalam menjalankan petunjuk sang guru. Bima segera mohon diri keluar, melanjutkan perjalanan, yang masih tinggal di dalam istana, semua terseyum, Raja Mandaraka berkata lirih, bagaimana caranya ia memperoleh air itu.
Gunung Candradimuka guwaneki, dene kanggonan reksasa krura, kagir-giri gedhene, pasthi yen lebur tempur, ditya kalih pangawak wukir, tan ana wani ngambah, sadaya gumuyu, ngrasantuk upayanira, sukan-sukan boga andrawina menuhi, kuneng wau kocapa.
Artinya :
Gunung Candramuka dan guanya, di situ tinggal raksasa yang sangat menakutkan sangat besar, tentu akan hancur lebur, dua raksasa serupa gunung, tak ada yang berani melawan, semuanya tertawa, merasa berhasil tipu muslihatnya, bersuka ria pesta makan-minum sepuas-puanya, berganti yang dikisahkan.
———- Di Gunung Candramuka ———-
Arya Sena lajeng lampahneki, prapteng wana langkung sukaning tyas, tirta ning pangupayane, saking tuduhing guru, tan anyipta upaya sandi, bebaya geng den ambah, tyasira mung ketung, kacaryan dennya ngupaya, kang tirta ning aneng Candradimuka wukir, marga sengkeng den ambah.
Artinya :
Arya Sena terus berjalan, sampai dihutan hatinya sangat gembira, air jernih yang dicari, dari petunjuk gurunya, tak mengira bahwa itu semua muslihat, bahaya besar ditempuhnya, hatinya hanya memperhitungkan, dengan gembira ia mencari, si air jernih di gunung Candramuka, jalan sulit ditempuhnya.
Jurang pereng runggut kang mandri, sato wana bubar kang katrajang, andanu sungsam lan banteng, amung wanara lutung, neng pang wreksa sangsaya mencit, lampahe Wrekudara, mawa braja lesus, kathah pang wreksa kapapral, para wiku lan ajar manguyu cantrik, kang tapa neng pratapan.
Artinya :
Jurang curam dan lebatnya hutan, satwa bercerai berai diterjangnya, kerbau kijang dan banteng, hanya kera dipucuk pohon yang semakin memanjat tinggi, perjalanan Wrekudara, bersama petir dan badai, banyak cabang pohon yang patah, para pendeta dan murid-muridnya yang sedang bertapa di pertapaan.
Tilar dhepok pra samya angungsi, saking giris myat bjra ruhara, cipta yen gara-garane, Sang Hyang Bayu tumurun, wau Sena lapahireki, pratapan kang kamargan, sri panjrah maweh rum, abra kang ptra mbalasah, kang cepaka angsana lan gandasuli, argulo nagapuspa.
Artinya ;
Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengungsi, karena takut kepada petir dan keributan, mengira bahwa menimbulkan gara-gara adalah Sang Hyang Bayu yang turun dari kahyangan, perjalanan Sena tersebut, melewati pertapaan membawa bau harum dimana-mana, bersinarlah daun-daun yang berserakan, bunga cempaka, angsana dan gandasuli, argula dan nagapuspa.
Kathah mekar myang gambir malati, patraping wiku kang tinilar, tumiling tiling istane, nambrana kang lelaku, bramara reh manguswa sami, anglir karunanira, sih margeng malat kung, ingkang lelampah ngupaya, kang toya ning nuju surya nengahi, gumyus riwe Sang Bima.
Artinya :
Banyak yang mekar dan gambir melati, pertapaan yang ditinggalkan, serupa kelihatan condong, menyambut yang sedang melakukan perjalanan, kumbang-kumbang yang hidup, bagaikan bersedih hatinya, memberi jalan sehingga menyebabkan suasana duka, orang yang sedang melakukan perjalanan mencari, si air jernih ketika sang surya sedang di puncak ubun-ubun, keringatnya berlelehan.
Sangsaya dres bayu braja tarik, Sena Saya sengkut lampahira, surem baskara sunare, saking dres bajra bayu, saking genge garanireki, wreksa sol kaparapal, brungkat, samya rubuh, ajar-ajar kapalajar, kuteteran wiku resi kang udani, methuk atur sesegah.
Artinya :
Semakin kencang sang bayu dan petir mendorongnya, Sena semakin cepat melangkah, matahari bersinar suram, oleh deras arus angin dan petir, oleh besarnya dorongan, pohon-pohon tumbang dan patah bersama akarnya, murid-murid padepokan berlarian, bingunglah para pendeta yang melihat, menyambut dengan memberi sajian secukupnya.
Nanging aturira tan tinolih, Arya Sena pan lajeng kewala, pan maksih njujur lampahe, samana prapta sampun, Candramuka guwaning wukir, sela-sela binubak, binuwangan gupuh, sanget denira ngupaya, tirta maya ingubres datan kapanggih, arya Sena sangsaya.
Artinya :
Tetapi kata-katanya tidak diperhatikan, Arya Sena terus berjalan, dengan berjalan lurus, setelah sampai di gua gunung Candramuka, bebatuan disingkirkan, dengan sungguh-sungguh ia mencari, air maya dicari tidak ada, Arya Sena semakin.
Apan sanget denira ngulati, tirta maya kang guwa binubrah padhang tan ana tandhane, tirta maya nggenipun, jroning guwa den osak-asik, saya lajeng manengah, Sena lampahipun, denira ngulati toya, kang tirta ning kuning kang lagya ngulati, wau wonten winarna.
Artinya :
Bersungguh-sungguh dalam mencari, air maya dalam gua yang sudah dirusak sehingga tampak terang benderang tanpa tanda-tanda, tempat air maya, dalam gua diobrak-abrik, semakin menuju ke tengah, Sena berjalan, dalam usaha mencari air, sang air jernih, lain yang diceritakan orang yang sedang mencari itu, ada yang akan diceritakan lagi.
———- Rukmuka dan Rukmakala ———-
Ingkang aneng jroning guwa nenggih, ditya Rukmuka lan Rukmakala, kagyat miyarsa swarane, gugragira kang gunung, pambubrahing guwa kang jawi, gora reh bayu bajra, lawan ngugas mambu, gandane janma manusa, wil Rukmuka kroda kadgadeng ajurit, lan ditya Rukmakala.
Artinya :
Yang sedang di dalam gua, raksasa Rukmuka dan Rukmakala, terkejut mendengar suara, kegoncangan gunung, rusaknya gua di bagian luar, riuh terdengar angin dan petir, jelas ada bau sesuatu, bau manusia, raksasa itu bergerak siap bertempur, raksasa Rukmakala.
Krura angrik nggero nggegirisi, ditya kalih sareng dennya medal, ngegilani ing tandange, lir Hyang Kala tumurun, duk krodarsa ambedhol bumi, nandher nubruk solahnya, prapteng njawi ndulu, manusa sawiji ingkang, mbubrah guwa bramantyanira tan sipi, wong ngendi iki baya.
Artinya :
Berteriak dan mengeram menakutkan, kedua raksasa ketika keluar, gerak-geriknya menakutkan, bagaikan san Hyang Kala yang turun dari langit, ketika marah akan mencabut bumi, menyebar dan menerkam geraknya, sesampai di luar melihat, manusia seorang yang, merusak gua kemarahannya meledak-ledak, orang dari manakah gerangan.
Pan angrusak ing panggonan mami, tan wurung sun tadhah tara masa, ditya kekalih nulyage denira nandher nubruk, Arya Sena kagyat ningali, ditya kalih praptanya, asru dennya muwus heh ditya nedya sikara, praptaningsun nut tuduhe guru mami, ngupaya tirta wuntat.
Artinya :
Yeng dengan berani merusak tempat tinggalku, tak pelak ia akan menjadi santapanku, kedua raksasa segera menyambar dan menerkam, Arya Sena terkejut melihatnya, akan kedua raksasa yang baru tiba itu, dengan keras ia berkata, wahai raksasa yang akan menganggu, kedatanganku mengikuti petunjuk guruku, mencari air suci.
Kidung Pangkur
Praptamu nedya sikara, nora wurung karasa ngasta mami, ditya kekalih gya naut, Rukmuka Rukmakala, pan sarya nggro Dyan Wrekudara tinubruk, kinerah gulu iringnya, ginilut ing kanan kering.
Artinya :
Kedatanganmu akan mengganggu, tak pelak tentu akan menerima tamparanku, kedua raksasa segera menyahut, Rukmuka dan Rukmakala, sambil menggeram mereka menerkam Wrekudara, mengigit leher samping, dikeroyok kanan kiri.
Panggeh Raden Wrekudara, jangganira kinerah datan gingsir, kinemah ginilut-gilut, jangganira tan pasah, Wrekudara tan tahan denira mambu, wil amis bacin gandanya, krodha kadgadeng ajurit.
Artinya :
Raden Wrekudara tetap tangguh, lehernya digigit tidak apa-apa, dikunyah digulat tidak mempan, Wrekudara tidak tahan memcium bau, raksasa yang anyir dan bacin, murka dengan terampil bertempur.
Dinuwa ditya kalihnya, gya cinandhak astane kanan kering, binanting sela maledhug, sumyur bangke kailhnya, wil Rukmuka lan Rukmakala wus lampus, ruwat ing cintrakanira, wil iku jawata kalih.
Artinya :
Ditendang kedua raksasa itu, segera ditangkap dengan kedua tangan, dibanting ke atas batu dan meledak, hancurlah bangkai kedua raksasa, raksasa Rulmuka dan Rukmakala telah tewas, terlepaslah penderitaannya, raksasa itu sebenarnay adalah dua dewa.
Kena ing papa cintraka, Endra Bayu dinukan Hyang Pramesthi, dadya ditya kalihipun, neng guwa Candramuka, Arya Sena sasirnane mengsahipun, sigra guwa binalengkrah, toya tan ana kaeksi.
Artinya :
Terkena kutukan, Endra dan Bayu dimarahi Hyang Pramesthi, menjadi raksasa keduanya, tinggal di gua Candramuka, setelah kedua musuhnya sirna, segera gua itu dirusaknya, namun air tidak juga ditemukan.
Sadangunira ngupaya, jroning guwa bubrah den obrak-abrik, sayah kesaput ing dalu, ngadeg soring mandhira, giyuh ing tyas denira ngupaya banyu, tan antara Arya Sena, miyarsa swara dumeling.
Artinya :
Selama mencari, dalam gua rusak berat diobrak-abrik, leleh menyambut malam, berdiri dibawah pohon beringin, bersedih hatinya mencari sang air, tak berapa lama Arya Sena, mendengar suara yang bergema.
———- Hyang Endra dan Hyang Bayu ———-
Tan katon kang duwe swara, babo putuningsun liwat kaswasih, ngupaya nora ketemu, tan antuk tuduh nyata, ing prenahe kang sira ulati iku, kasangsara solahira, Wrekudara duk miyarsi.
Artinya ;
Tak tampak yang bersuara, wahai cucuku yang sangat bersedih, mencari tidak menjumpai, tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kaucari itu, sungguh menderita dirimu, Wrekudara ketika mendengarnya.
Nauri sinten kang swara, dene boten katinggal marang mami, punapa yun ngambil tuwuh, atur kula sumangga, suka pejah tan antuk ngulati banyu, kang swara gumujeng suka, yen sira tambuh ing kami.
Artinya :
Menjawab siapa yang bersuara itu, karena tidak kelihatan olehku, apakah ingin membunuhku, mari kupersilahkan, lebih baik mati daripada tidak tidak mendapatkan air yang kucari, suara itu tertawa senang, bila kau pura-pura tidak tahu kepadaku.
Sira duk mateni buta, iya ingsun padha jawata kalih, keneng cintraka Hyang Guru, temah sira kang ngruwat, ingsun Sang Hyang Endra lan Bathara Bayu, duk ditya Si Rukmakala, lawan Rukmuka ran mami.
Artinya :
Kau ketika membunuh raksasa, ya kami inilah dua dewa, yang terkena marah Hyang Guru, akhirnya kau yang melepaskan kesusahanku, kami Sang Hyang Endra dan Bathara Bayu, san Rukmakala dan Rukmaka nama kami.
Sira angulati toya, pituduhe Druna marang sireki, nyata yen ana satuhu, kang Maosadi tirta, nanging dudu ing kene panggonanipun, sira balia astana, enggone ingkang sayekti.
Artinya :
Kau mencari air, petunjuk Druna kepadamu itu, nyata memang benar-benar ada, sang air penghidupan, tetapi bukan disini tempatnya, kau kembalilah ke Astina, yang merupakan tempatnya yang nyata.
———- Di Nagara Ngastina ———-
Wrekudara duk miyarsa, kendel saking wagugen tyasireki, tan antara gya sumebrung, mantuk marang Ngastina, tan winarna ing marga praja wus rawuh, pendhak ing dina samana, nuju Prabu Kurupati.
Artinya :
Wrekudra kektika mendengar, berhenti dari kebingungan hatinya, tak lama ia segera pergi, pulang ke negeri Ngastina, tak diceritakan keaadaannya dalam perjalanan, sudah sampai di istana, pada waktu itu, Sang Prabu Kurupati.
Pepakan lunggyeng pandapa, Resi Druna Bisma lawan Sang Aji, Mandraka Sri Salya Prabu, Sangkuni Kyana Patya, pepak sagung Kurawa sumiweng ngayun, Sindukala lan Sudarma, Suranggakala lan malih.
Artinya :
Lengkap duduk diserambi muka, Resi Drna Bisma dan sang Raja, Raja Mandaraka Prabu Salya, Patih Arya Sangkuni, lengkap bala Kurawa menghadap dimuka sang raja, Sindukala dan ayahanda, Suranggakala dan lainnya.
Kuwirya Rikadurjaya, lawan Jayasusena munggeng ngarsi, kagyat wau praptanipun, Dyan Arya Wrekudara, samya mbagekaken mring kang lagya rawuh, babo ariningsun Sena, antuk karya sun watawis.
Artinya :
Kuwirya Rikadurjaya, dan Jayasusena duduk di depan, terkejut melihat kedatangan, Raden Wrekudara, mereka mempersilakan orang yang baru datang itu, wahai adikku Sena, berhasilkah kau menunaikan tugasmu.
Yayi sun ngempek kewala, praptanira sayekti antuk kardi, Resi Druna lon sumambung, paran ta lakunira, Wrekudara umatur datan kapangguh, nggoning wukir Candramuka, mung ditya kalih kapanggih.
Artinya :
Adikku aku hanya ingin bertanya, kedatanganmu tentu membawa hasil, Resi Druna menyambung lirih, bagaimana hasilmu, Wrekudara menjawab bahwa tidak berhasil, di gunung Candramuka, hanya dua raksasa yang ditemuinya.
Rukmuka lan Rukmakala, sampun sirna kalih kawula banting dening ditya mamrih lampus, sikara mring kawula, jroning guwa ngong balingkrah tak kapangguh, paduka tuduh kang nyata, sampun amindho gaweni.
Artinya :
Rukmuka dan Rukmakala, telah kubanting agar lekas berhenti menggangguku, di dalam gua semua kacau balau tetap tidak kutemukan, paduka harus memberi petunjuk yang jelas, sehingga tidak perlu mengulang seperti ini.
Dhang Hyang Druna ngrangkul sigra, babo sira kang lagi sun ayoni, temen nut tuduhing guru, mengko wus kalampahan, nora mengeng ngantepi pituduhingsun, ing mengko sun warah sira, enggone ingkang sayekti.
Artinya :
Dhang Hyang Druna segera memeluk, wahai kau yang sedang kuuji, sungguh mau mengikuti petunjuk gurumu, kkini telah terbukti, tidak menolak dalam melaksanakan perintahku, sekarang kuberi petunjuk, tentang letak yang sebenarnya.
Iya ing theleng samodra, yen sirestu nggeguru marang mami, manjinga mring samodra gung, Arya Sena turira, sampun menggah manjing theleng samodra gung, wontena nginggiling swarga, myang dasar kasapti bumi.
Artinya :
Yaitu di tengah samudera, jika sungguh kau akan berguru kepadaku, masuklah ke dalam samudra luas itu, Arya sena menjawab, jangankan masuk ke dalam lautan, di puncak surga pun, dan di dasar bumi ketujuh.
Masa ajriha palastra, tuduh paduka yekti, Druna mojar iya kulup, yen iku ketemua, bapa kakinira kang wus padha lampus, besuk uripe neng sira, lan sira punjul ing bumi.
Artinya :
Tak mungkin takut, melaksanakan petunjuk paduka yang benar, Druna berkata ya anakku, jika itu kau temuka, orang tua dan kakekmu yang sudah mati, kelak hidupnya ada padamu, dan kau akan menonjol di dunia ini.
Tan ana aji tumama, sirna kasor kawengku ing sireku, Sri Duryudana sumambung, dhuh Sena ariningwang, kaya paran praptikelira dalanggung, dene laku luwih gawat, prenahe kang tirta ening.
Artinya :
Tak ada senjata yang mampu melukai, lebur dan kalah olehmu, Sri Duryudana menyambung, wahai Sena adikki, bagaimana caramu menempuh perjalanan, karena perjalan itu lebih gawat, tentang letak air jernih itu.
Aja sira kaya bocah, den prayeitna Wrekudara nauri, Heh Kuru pati wak ingsun, srahene ing Jawata, aywa malang tumulih lilakna tuhu, aja nggarantes tyasira, paribara sun basuki.
Artinya :
Janganlah kau seperti anak kecil, berhati-hatilah, Wrekudara menjawab, hai Kurupati diriku ini kuserahkan kepada dewata, janganlah kau ragukan, relakan daku, jangan sedih hatimu, tentu aku akan selamat sampai tujuan.
Ya yayi muga antuka, lakunira pitulunging dewa Di, Arya Sena pamit sampun, mring Druna lang Sang Nata, ing Ngastina wusnya pamit gya sumebut, medal sapraptaning jaba, nedya umantuk rumiyin.
Artinya :
Ya adikku semoga berhasil, langkah-langkahmu mendapat restu dari dewa yang agung, Arya Sena mohon diri, kepada Druna dan sang raja, di Ngastina esudah itu ia segera pergi, keluar dari istana, untuk pulang lebih dahulu.
Matur ingkang raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lampahe prapti, ya ta wau kang winuwus, nenggih nagri Ngamarta, saankate Wrekudara kesahipun, dene tan kena ingampah, marmanya dhahat prihatin.
Artinya :
Lapor kepada Raja Ngamarta, ganti yang dikisahkan, Wrekudara sudah sampai, itulah yang dikisahkan, tentang negeri Ngamarta, sepeninggal Wrekudara, yang tidak dapat dicegah sehingga menimbulkan kesedihan mendalam.
Sira Prabu Darmaputra, miwah Dananjaya lan ari kalih saputra sagarwanipun, prihatin tyas sumelang, dadya rembag atur uninga puniku, saking sungkawaning driya, marang Prabu Harimurti.
Artinya :
Prabu Darmaputra, dan Sang Dananjaya dengan adiknya berdua beserta anak istrinya, prihatin hatinya khawatir, menjadikan pembicaraan yang menjelaskan hal itu, oleh kesedihan hatinya, kepada sang Prabu Harimurti.
Mesat caraka Ngamarta, mawi serat ing marga tan winarni, prateng Dwarawati sampun, serat katur sang nata, wus binuka sinuksmeng sajroning kalbu, kagyat nggarijiteng wardaya, sira Prabu Harimurti.
Artinya :
Pergilah seorang utusan Ngamarta, membawa surat dalam perjalanan tidak dikisahkan, sudah sampai di Dwarawati, surat itu disampaikan kepada sang raja, sudah dibuka dan diresapkan kedalam hati, sangat terkejut hati sang raja Prabu Harimurti.
Dhahat tan sakeca ing tyas, gya ngundangi budhal wadya sang aji, wadya lampahe kasusu, ing marga tan winarna, lampahira Sri Kresna Ngamarta rawuh, katur Prabu Yudhistira, gya methuk lawan parari.
Artinya :
Sangatlah tidak enak hatinya, segera memerintahkan untuk pergi ke Ngamarta beserta bala pasukan, pasukan itu berangkat tergesa-gesa, di dalam perjalanan tidak dikisahkan, sang Harimurti sudah sampai di Ngamarta, menghadap sang Ydhistira, lekas menyambut bersama adik-adiknya.
Prapteng pura tata lenggah, Dananjaya lan kang rayi ngabekti, Prabu Darmaputra Yudhistira matur, Sena sesolahira, purwa madya wasana pan sampun katur, miyarsa ngungun ing driya, sira Prabu Harimurti.
Artinya :
Masuk istana dipersilahkan duduk, Dananjaya dan adiknya menghaturkan sembah, Prabu Darmaputra Yudhistira berkata, tentang Sena dan tingkahnya, sejak awal tengah dan akhir semua disampaikan, yang mendengarkannya heran dalam hati, yaitu sang Prabu Harimurti.
Wasana andikanira, yayi Prabu sampun sungkaweng galih, solahe arineriku, Wrekudara denira, ngruruh tirta ening sayekti ingapus, tingkahe Kurawa cidra, pasrahna Jawata Di.
Artinya :
Kemudian katanya, Dinda Prabu janganlah bersedih hati, tingkah adik kita, Wrekudara dalam usahanya mencari air suci jernih sesungguhnya ditipu, oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada dewata yang agung.
Wong nedya puruhita, ujar becik upama den lampahi, santosa ing bathara gung, ingkang nedya bencana, boten wande manggih wewales ing pungkur, matur Prabu Yudhistira, mila kula Jeng Kaka Ji.
Artinya :
Orang yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik itu harus dijalankan, yakin kepada dewata yang agung, yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu akan mendapatkan balasan, berkata prabu Yudhistira, maka saya ini kakanda.
Nunten ngaturi uninga, mring paduka pun Sena lampahneki, yen tan nunten praptanipun, kula lan rayi tuwan, Madukara ngulati ing purugipun, tan liyan mung nyuwun pitedah, paduka den lampahi.
Artinya :
Kemudian segera memberi kabar, kepada paduka tentang tingkah Sena itu, jika tidak lekas datang, saya dan adik yang lain dari Madukara akan mencari ke mana perginya, tak lain hanya minta petunjuk paduka untuk kami laksanakan.
Lagyega imbal wacana, pan kasaru Sena praptanireki, prabu kalih sigra ngrangkul, langkung trusthaning driya, Dananjaya lan Nangkula Sadewaku, Dyan Pancawala Sumbadra, aretna Drupadi Srikandi.
Artinya :
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Sena, dua raja itu segera memeluk Sena, hati mereka sangat gembira, Dananjaya dan Nakula Sadewa, Raden Pancawala dan Sembadra, Retna Drupadi dengan Srkandi.
Putra ri ngabekti samya, angandika sang prabu Harimurti, inggih ndaweg yayi prabu, sami suka bujana, sigra Arya Wrekudara aturipun ywa susah nganggo bujana, pan ingsun nora ngenteni.
Artinya :
Putra dan adik-adik mengabdi mengahturkan sembah semuanya, berkata sang prabu Harimurti, mari kita berpesta dan bersenang-senang, segera Arya Wrekudara menjawab, tak usah berpesta pora, aku tidak akan menantikannya.
Marang wong suka bujana, praptaningsun mung nedya tur udani, yen wis pamit bali ingsun, miwah mring sira Kresna, pan kapareng prapta manira angung wruh, arsa mring theleng samodra, ngupaya sinom tirta di.
Artinya :
Kepada orang yang suka berpesta, kedatanganku hanya ingin memberi kabar, nahwa aku sudah mohon diri kepada kalian, dan kepadamu Kresna, kedanganku hanya ingin memberi tahu, aku akan ke tengah samudera, mencari air suci.
Kidung Sinom
Pituduhe Dhang Hyang Druna, angulati Banyu Urip, nggone neng theleng samodra, iku arsa sun ulati, matur kang para ari dhuh kakangmas sampun-sampun, punika dede lampah, tan pantes dipun lampahi, duk miyarsa njethung Prabu Ydhistira.
Artinya :
Petunjuk Dhang Hyang Druna, mencari air penghidupan, tempatnya di pusat samudera, itu akan kucari, berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan lakukan, itu bukan tugas, tidak patut dilaksanakan, mendengar itu diamlah Prabu Yudhistira.
Wusana alon turira, mring raka Sri Harimurti, paran ing karsa paduka, pun Sena aturireki, tan kenging den palangi, Sri Kresna kendel tan muwus, langkung pangungunira, bunek ing tyas tan nauri, ing ature kang rayi Sri Yudhistira.
Artinya :
Kemudian katanya pelan, kepada kakanda Sri Harimurti, bagaimana kehendak paduka, demikian kehendak Sena, tidak dapat dihalang-halangi, Sri Kresna diam tak dapat berkata-kata, sangat heran dia, bingung dalam hatinya tak dapat menjawab pertanyaan sang Yudhistira.
Sigra Prabu Ydhistira Darmaputra, tumengkul marang kang rayi, Parta Nangkula Sadewa nungkemi pada anangis, Dyan Pancawala tuwin, Sumbadra Srikandi muwun, samya nggubel aturnya, miwah Prabu Harimurti, andrewili pitutur mring Arya Sena.
Artinya :
Segera Sang Prabu Yudhistira, menoleh kepda adinda, Parta Nakula dan Sdewa menyembah dan mencium kaki sambil menangis, Raden Pancawala dan, Sumbadra Srikandi menangis pula, semua meminta dengan paksa, dan Prabu Harimurti masih memberikan nasihat kepada Arya Sena.
Sena tan kena ingampah, tan keguh ginubel tangis, Dananjaya nyepeng asta, ari kalih suku kalih, [an sarwi lara nangis, Sri Kresna tansah pitutur, Srikandi lan Sumbadra, kang samya nggubel nangisi, kinipatken sadaya sami kaplesat.
Artinya :
Sena tidak dapat ditahan-tahan lagi, tak goyah dikungkung oleh tangis, Dananjaya memegangi tangan, dua adik lain memegangi kedua kakinya, dan sambil menangis mengiba-iba, Sri Kresna selalu menasihati, Srikandi dan sumbadra, yang masih tetap menangis dan menghalang-halangi, dikibaskan semua terlempar.
Meksa mberot Wrekudara, datan kena den gujengi, ngitar lampahe wus tebah, kadya tinilar ngemasi, Parta lan ari kalih, arsa sumusul tutu pungkur, ajrih pangampihira, kang raka Sri Harimurti, dadya kendel sadaya wayang-wuyungan.
Artinya :
Wrekudara tak dapat dipegangi, cepat langkahnya sudah jauh, yang tinggal bersedih bagaikan mati, Parta dan kedua adiknya, akan menyusul mengikuti di belakangnya, takut menemui rintangan atas kaknya, Sri Harimurti, menjadi terdiam semua kebingungan.
Saenggon-enggon karuna, sagung santana jalwestri, satriya ngadhep neng ngarsa, sira prabu Harimurti, tan pegat mituturi, kang rayi pra samya ndheku, dadya Sri Padmanaba, makuwon aneng jro puri, kawuwusa wau kang adreng ing lampah.
Artinya :
Di setiap tempat terdengar tangisan, semua sentana lelaki perempuan, satria menghadap di muka, Sang Prabu Harimurti, tak henti-hentinya menasihati, adik-adik semua terdiam dan khidmad, jadilah sang Padmanaba, tinggal di dalam istana, dikisahkanlah yang sedang dalam perjalanan.
———- Keindahan Pemandangan Yang Terlihat ———-
Lajeng dhedher Arya Sena, wus tebih manjing wanadri, tan kestri durgameng hawan, tan ana bebaya kesthi, sagung wong tepis iring, pra samya gawok angrungu, lampahe Arya Bima, lir naga krura ngajrihi, anrang baya amrih tuduhing ngagesang.
Artinya :
Semakin jauh perjalanan Arya Sena, sudah masuk kedalam hutan, tak terpikir bahaya diperjalanan, tak ada bahaya dilihatnya, orang-orang yang ditinggal di perbatasan, semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena, bagaikan naga yang sangat menakutkan, menyerang bahaya agar tercapai tujuan hidupnya.
Kakayon katut maruta, pang kaprapal ngangin-angin, lir ngatag kang sekar mekar, samirana awor riris awor riris, panjrahing sarwa sari, kang riris pan marbuk arum, kumuning jangga sumyar, angsana pudhak kasilir, kinon katon lir wentis kasisan sinjang.
Artinya :
Pepohonan terhanyut oleh angin, cabang patah oleh angin, bagaikan memaksa bunga-bunga untuk mekar, angin bertiup tersebar berbunga, gerimis dengan semerbak harum, tampak kuning dengan leher yang bersinar, bunga pudak bergoyang-goyong, tampak bagaikan betis tertiup kain kebaya.
Seje tibra ganing driya, sahira saking nagari, cunggeren ret mawurahan, lir napa marang sang Branti, merak munya neng wuri, barung lawan peksi cucur, lir ngaturi wangsula, kidang wangsul saking ngarsi, kadya srune napa sangsayeng wardaya.
Artinya :
Lain kesedihan yang dirasakan, kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah, bagaikan bertanya kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya, bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah mengajak pulang, kijang pulang dari hadapannya, bagaikan memendam kesedian yang dalam.
Resres munya asauran, yayah kadya anauri, bebeluk myang dares munya, anamber-namber wiyati, kadya ngadhangi margi, wangsula ri sang Malat Kung, kungkang neng rong kalintang, amarah upaya sandi, yen dursila tanduking karti sampeka.
Artinya :
Capung bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab, burung hantu dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara, bagaikan mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya, memohon dengan sangat bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah orang-orang yang berbuat jahat.
Diwasaning diwangkara, titi sunya tengah wengi, gedasih munya sauran, musthikeng ganeya muni, mangun anggeng saliring, kadya sung warah mring lampus, upaya Dhang Hyang Druna, tan tuhu amrih basuki, mawa kamandaka durgamaning hawan.
Artinya :
Pada waktu itu sang matahari, tidak muncul karena tengah malam, burung kedasih bersuara bersahutan, mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan dengung di sekitarnya, seolah-olah menyarankan akan mati, perintah Dhang Hyang Druna, tidak menuju keselamatan, dengan kata-kata yang penuh bahaya dalam perjalanan.
Suwenda sekaring asta, ri ana Sang Hyang Bayeki, anut ujunging aldaka, denira lumampah aris, purwa ima rekteki, sirat-sirat wus kadulu, wismane Sang Haruna, manitih ing jalanidhi, keksi praba Sang Maharsi Dipaningrat.
Artinya :
Kuku hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu, menurut ujung gunung, langkahnya pelan-pelan, dikawal awan putih, dari jauh kelihatan, tempat tinggal sang Dewa Haruna (Dewa Matahari), berjalan di atas air laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat.
Ana ri kang pasi wijah, anyengak-nyengak sru muni, sasmita kinen wangsula, mring sang kasangsayeng ragi, sata wana munyajrit, wewarah mring Sang Moneng Kung, angambah wanapringga, kungas tepining udadi, alun adres gumulung menempuh parang.
Artinya :
Ada seekar burung yang tampak, bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi, memberi isyarat supaya lekas kembali, kepada yang menderita dalam perjalanan, hewan-hewan hutan menjerit-jerit, memberi isyarat kepada yang sedang berduka, melewati hutan lebat berbahaya, tampak tepi laut, ombak bergulung-gulung menerpa karang.
Sumyak lir suraking aprang, mrepek sangsaya kaeksi, karang munggul kawistara, dan awun-awun nawengi, ana kang kadi esthi, karang mengo liman ajrum, Wrekudara wus prapta, ngadeg neng tepining tasik, mangu-mangu mulat tepining udaya.
Artinya :
Riuh bagaikan sorak-sorai peperangan semakin dekat semakin tampak, karang menyembul, dan ombak-ombak itu melindungi, ada yang bagaikan gajah, yang menoleh dan emndekam, Wrekudara sudah sampai, berdiri di tepi laut, ragu-ragu menatap tepi laut itu.
Kang ombak ngembang galagah, panduking parang mangsuli, lir nambrama ingkang prapta, ngaturi wangsulireki, palimarma mring kang kang Prapti, yen ingapus lampahe manjing samodro.
Artinya :
Sang ombak bagaikan bunga gelagah, menggempur batu karang, bagaikan menyambut yang baru datang, menyarankan untuk kembali saja, topan datang juga, suaranya riuh menggelegar, ombak bergulung-gulung, tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia ditipu agar masuk ke dalam samudera.
Druna ujar ngamandaka, tuduhira tan sayekti tan sayekti, Sena yen wangsula merang ing guru Sang Maha Resi, suka matiyeng tasik, mangkana wau andulu, palwa awarna-warna, kumerab ing jalanidhi, ting karetap kang layar pating samburat.
Artinya :
Druna memberi petunjuk yang sesat, petunjuknya tidak benar, Sena tidak ingin pulang menentang sang Maharesi, lebih baik mati di tepi laut, demikianlah ia melihat, berbagai bentuk perahu, berbondong-bondong di atas lautan, bercahaya dengan layar yang berkembang.
Ting salebar lampahira, kang palwa sawiji-wiji, nanging tan ana kang misah, dulur maksih lampah tunggil, nangkoda samya grami, samya ngetan purugipun, dangu Sang Arya Sena, miyat kang palwa lumaris, ngunandika paran mengko lakuningwang.
Artinya :
Menyebar laju perjalanannya, setiap perahu satu persatu, tapi tidak ada yang memisahkan diri, bersaudara masih menyatu, nakoda kapal semua mengangkut dagangan, berlayar ke timur, lama Arya Sena, melihat kapal-kapal itu lewat, berkata dalam hati bagaimana caraku nanti.
Manjing jro theleng samodra, angupaya Banyu Urip, mangkana ingsun nora bisa, umanjing sajroning warih, kayaa si Pamadi, bisa manjing jroning banyu, silulup katon padhang, tan pae dharatan sami, Wrekudara dangu dennya ngunandika.
Artinya :
Masuk ke dasar samudera, mencari air penghidupan, padahal aku tidak mampu masuk ke dalam air, seandainya seperti Pamadi, mampu masuk kedalam air, menyelam tampak terang, tak berbeda dengan di atas daratan, lama Wrekudara berkata-kata dalam hati.
Wasana mupus ing driya, rehning atur wus nanggupi, marang Sang Pandhita Druna, tuwin Prabu Kurupati, dennya ngupaya nenggeh, ingkang Tirta Kamandanu, manjing theleng samodra, Sena tyasira tan gingsir, lara pati pan wus karsaning Jawata.
Artinya :
Akhirnya ia berpasrah diri, karena sudah menyatakan kesanggupan, kepada Sang Pandhita Druna, dan Prabu Kurupati, dalam mencari itu, Sang Tirta Kamandanu, masuk kedasar samudera, hati Sena tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak Dewata yang agung.
Lengleng mulat ing udaya, rencakaning tyas kalingling, nglanggut datan pawatesan, Sang Moneng lir tugu manik, alun geng nggegirisi, langgeng agolong gumulung, toya mundur angalang, kekisik wingkisi, wedinira lir kekisi sekar mekar.
Artinya :
Dengan suka cita ia memandang laut, kesedihan hatinya sudah terkikis, menerawang tanpa batas, Sang Moneng bagaikan tugu batu, ombak besar menakutkan, terus menerus bergulung-gulung, air mundur menhalangi, tampak tanah pantai menyembul, ketakutannya bagaikan gulungan bunga yang mekar.
Sangsangira lembak-lembek, lircemara uwal saking, ukeling dyah sinjang lukar, tan wus ucapen ing tulis, isen-isen jaladri pira-pira langenipun, raras rume jro toya, panjang yen winarna kawi, kurang papan maksih luwih kang carita.
Artinya :
Rambunya mengombak-ombak, bagaikan rambut sambunganyang terlepas dari ikatannya, tak dapat dikatan dalam tulisan, isi laut beberapa keindahan yang tampak, keindahan dalam air itu, panjang bila diceritakan.
Wrekudara Mencebur ke Laut ———-
Wau Arya Wrekudara, andangu dennya ningali, langen warnaning samodra, sawusnya mangkana nuli, amusthi tyasireki, ing bebaya tan kaentung, kalamun tan manggiha,ingkang Tirta Maya Ening, Tirta Kamandanu neng theleng samodra.
Artinya :
Maka sang Arya Wrekudara, lama menatap, keindahan isi laut, sesudah itu lalu memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya, jika tidak menemukan, si air maya jernih, tirta kamandanu di dasar samudera.
Wirang yen mantuka aran, suka matiyeng jaladri, tan liyan mung pituduhira, mung guru ingkang kaesthi, wusnya mangkana nuli, Wrekudara sigra cancut, gumregut tandangira, denira manjing jaladri, datan mundur pinethuk ngalun lampahnya.
Artinya :
Malu jika pulang tanpa hasil, lebih baik mati di laut tak lain hanya petunjuknya, sang guru yang dipikirkan, sesudah itu lalu, Wrekudara segara bersikap diri dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tak akan mundur menghadapi ombak samudera.
Kidung Durma
Neng samodra wiraganira legawa, banyu sumaput wentis, melek angganira, alun pan sumaburat, sumembur muka nampeki, migeg ring angga, waket jangga kang warih.
Artinya :
Dalam samudera kegembiraannya tampak, air membasahi kaki, memyentuh tubuhnya, ombak menggelombang, menampar wajahnya, bergerak-gerak menerpa badan, menyentuh lehernya.
Sena emut kang aji Jalasengara, amrih piyaking warih, wusnya matek sigra, lampah meksa manengah, tan etang priganing warih, kuneng Sng Bima, ya ta wonten winarni.
Artinya :
Sena teringat ilmunya Jalasengara, agar air menyibak, setelah ilmu itu diucapkan, terus berjalan ke tengah, tak memperhitungkan bahaya dalam air, tentang Sang Wrekudara, lain lagi cerita di sini.
Kang naga geng kang mangsa ylam samodra, wisanya luwih mandi, kroda dennya miyat, sigra ngambang lumarap, gengnya saprabata siwi, galak kumelap muka ngajrihi.
Artinya :
Ada naga besar yang memangsa ikan di laut, berbisa sangat mematikan, bergerak mendekati apa yang dilihatnya, segera mengambang di air, sbesar gunung anakan, wajahnya tampak liar dan ganas, mulut menganga menakutkan.
Lir kinebur samodra molah prakempa, Sena kagyat ningali, ngunandikeng driya, iki bebaya prapta naga geg krua ngajrihi, mangap kadya guwa, siyung mingis kumilat, semembur wisa lir riris, manaut sigra, mulet kadya ginodhi.
Artinya :
Bagaikan dikebur keadaan air laut itu, bergoyang-goyang bagaikan gempa, Sena terkejut melihatnya, berkata dalam hati, bahaya yang datang berupa naga besar menakutkan, menganga bagaikan gua, taringnya tampak tajam bercahaya, menyemburkan bisa bagaikan hujan, menerkam segera, melilit bagaikan membalutnya.
Pan larangkus badan pinulet ing naga, Sena angres ing galih, naga wisanira, tumempek ngangganira, kewran wus anyipta mati, saya pinoleh, kang naga mobat-mabit.
Artinya :
Sesudah badannya dililit oleh tubuh ukar naga itu, Sena merasa kecut hatinya, melekat di tubuhnya, kebingungan ia mengira akan cepat mati, semakin meronta sang naga semakin kuat lilitannya.
Sarirane Sena kagubet sadaya, mung janggane kang maksih, kang naga sru molah, ningseti panggubetnya, wonten palwa dagang prapti, giris umiyat, kang palwa nimpang lebih.
Artinya :
Tubuh Sena dililit semua, hanya tinggal lehernya masih tampak, sang naga semakin ganas, mengencangkan lilitannya, ada kapal dagang yang medekat, lekas pergi menjauh, menghindari.
Lir sinapon palwa narka angin salah, wau ta kang ginodhi, sayah Arya Bima, krodha emut anulya, cinubles kanaka aglis, kang munggeng angga, pasah ludira mijil.
Artinya :
Bagaikan disapu awak perahu itu mengira ada angin salah tiup, sedangkan saja Sena masih dililit naga, lelah tak kuasa meronta kemudian ia teringat, segera menikamkan kukunya, tepat di tubuh naga itu, kemudian darah pun memancar.
Kuku Pancanaka manjing badan naga, tatas sarpa ngemasi, rah mijil marawan, abangtoyeng samodra, sapandeleng kanan kering, toya awor rah, naga geng wus ngemasi.
Artinya :
Kuku Pancanaka menancap di badan naga,langsung naga itu mati, darah keluar dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air bercampur darah, naga besar sudah mati.
———- Diketahui Sang Marbudyengrat Dewa Ruci ———-
Sirna dening Sena sadaya pan suka, saisining jaladri, wau kawuwusa, Ri sang Murwengparasdya, wruh lakuning Kang Kaswasih, Sang Amurwengrat, praptane Sang Amamrih.
Artinya :
Naga Mati oleh Sena, seisi laut itu gembira, diceritakanlah, Ri Sang Paramengparasdya, melihat perjalanan sang Kaswasih, Sang Amurwengrat, kedatangan Sang Amamrih.
Dinuta tan uninga jatining lampah, kang Tirta Marta Ening, apan tanpa arah, Tirta kang wruh ing Tirta, Suksma sinuksma wawingit, tangeh manggiha, yen tan nugraha yekti.
Artinya :
Di utus tidak mengetahui hakekat tugasnya, Sang Air Penghidupan Jernih, yang tanpa arah, air yang melihat air, suksma berjiwa penuh rahasia, tak mungkin ditemukan, bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya.
———- Di Negara Ngamarta ———-
Kuneng wau kocapa, Nata Pandhawa, kang samya tyas prihatin, sangsaya kagagas, nenggih mring kadangira, arsa nusula prasami, aywa sulaya, yen nemahana pati.
Artinya :
Syahdan diceritakan, Raja Pandawa yang bersedih hatinya, semakin dipikirkan perihal keadaan Saudaranya, semua ingin menyusul, jangan sampai menemui kesulitan.
Samya nggubel nenuwun kang pangandika, mring Prabu Harimurti, samya tinangisan, matur narendra Kresna yayi Prabu yayi prihatin, pan kadang tuwan, boten tumekeng pati.
Artinya :
Semua memohon dengan penuh iba, kepada Prabu Harimurti, semua menangis, berkatalah Sang Kresna, bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia.
Malah manggih kanugrahaning Jawata, benjing praptane suci, angsal sih kamulyan, ing Hyang Suksma Kawekas, winenang alintu diri, raga Bathara putus ing tinggal ening.
Artinya :
Bahkan mendapat pahala dari Dewata, nanti akan datang dengan kesucian, mendapatkan cinta kemuliaan, dari Hyang Suksma Kawekas, diizinkan berganti diri, menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening.
Mila sampun sungkaweng tyas yayi nata, enggar tyasira sami, sirna susahira, dennya wau miyarsa, pangandika kang sayekti, Nerendra Kresna, kamulyaning kang rayi.
Artinya :
Maka janganlah bersdih hati, gembirakanlah hati kalian, hilangkan cemas, setelah mendengar penjelasan demikian, dari Sang Prabu Kresna, akan keberhasilan adindanya.
—- Sang Wrekudara Berjumpa Dengan Sang Marbudyengrat Dewa Ruci —-
Ya ta malih wuwusen Sang Wrekudara, kang maksih neng jaladri, sampun pinanggihan, awarni Dewa Bajang, paparan Sang Dewa Ruci, lir lare dolan, neng udaya jaladri.
Artinya :
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, sudah bertemu dengan Dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main di atas air laut.
Angandika Sena apa karyanira, apa sedyanireki, umanjing samodra, liwat sepi kewala, tan ana ingkang binukti, myang sarwa boga, miwah busana sepi.
Artinya :
Berkata Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada, tak ada yang dimakan, tiadak ada makanan, dan tidak ada pakaian.
Amung ana godhong aking yen ana kaleyang, tiba ing ngarsa mami, iku kang sun pangan, yen nora natan mangan, nggarjita tyasnya miyarsi, Sang Wrekudara, ngungun dennya ninggali.
Artinya :
Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, jika tidak ada tentu tidak makan, Sang Wrekudara, heran melihat dan mendengarnya.
Dewa bajang neng samodra tanpa rowang, cilik amenthik-menthik, iki ta wong apa, mung sabayi gengira, bisa lumakyeng jaladri, ladak kumethak, tanpa rowang pribadi.
Artinya :
Dewa berambut panjang di laut tanpa kawan, kecil sekali, siapakah dia, hanya sebesar bayi, dapat berjalan di atas air, sombong sekali, tanpa kawan hanya sendirian.
Angling malih heh ta Wrekudara sigra, prapta ing kene iki, akeb Pancabaya, yen nora etoh pejah, sayekti tan prapta ugi, ing kene mapan, saklir sarwa mamring.
Artinya :
Berkata lagi wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi.
Nora urub lan ciptamu paripeksa, sira tan ngeman pati, sabda kaluhuran, kene masa anaa, Sena kewran tyasireki, sesaurira, dening tan wruh ing gati.
Artinya :
Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, di sini tidak mungkin ditemukan, Sena bingung hatinya, jawabnya, karena tidak tahu maksudnya.
Dadya Wrekudara alon aturira, masa borong Sang Yogi, dewa Ruci mojar, lah iya sira uga bebete Sang Hyang Pramenthi, Hyang Girinata, turune sira saking.
Artinya :
Sehingga Wrekudara menjawab pelan, terserah kepada guru, Dewa Ruci berkata, kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari.
Sang Hyang Brama uwite kang para nata, pan ramanira ugi, turun saking Brama, mencarken para raja, ibunira Dewi Kunthi, kang duwe tedhak, iya Hyang Wisnu Murti.
Artinya :
Sang Hyang Brama asal para raja, ayahmu pun, keturunan dari Brama, menyebarkan pra raja, Ibumu Dewi Kunti, yang memiliki keturunan, yaitu Sang Hyang Wisnu Murti.
Mung patutan telu lan bapakira, Yudistira pangarsi, panenggake sira, panengah Dananjaya, kang loro patutan Madrim, genep Pandhawa, praptamu kene ugi.
Artinya :
Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai panengah/ketiga adalah Dananjaya, yang dua anak dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu di sini pun.
Iya Dhang Hyang Druna akon ngulatana, Toya Rip kang tirta ning, iku gurunira, pituduh marang sira, yeku kang sira lakoni, mula wong tapa, angel pratingkah urip.
Artinya :
Juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari, Air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya.
Aywa lunga yen durung wruh kang pinaran, lan aja mangan ugi, lamun durung wruha, rasaning kang pinangan, aja anganggo ta ugi, yen durung wruha, arane busaneki.
Artinya :
Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, dan jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian, bila belum tahu, nama pakaianmu.
Weruhira tetaken bisane iya, lawan tetiron ugi, dadi lan tumandang, mangkono ing ngagesang, ana jugul saking wukir, arsa tuku mas, mring kemasan den wehi.
Artinya :
Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi.
Lancang kuning den anggep kancana mulya, mangkono wong ngabekti, yen durung waskitha, prenahe kang sinembah, Wrekudara duk miyarsi, ndheku nor raga, dene Sang Wiku sidik.
Artinya :
Kertas kuning dikira emas mulia, demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah, Wrekudara ketika mendengar itu, terduduk merendahkan diri, sedangkan sang wiku cermat.
Toya piyak dadya sila Wrekudara, umatur meminta sih, anuwun jinatyan, pukulun sinten tuwan, dene neng ngriki pribadi, Sang Marbudyengrat, angling Sang Dewa Ruci.
Artinya :
Air menyibak menjadi tempat duduk bagi Wrekudara, berkata meminta kasih, mohon diyakini, siapakah tuanku sebenarnya, mengapa di sini sendirian, Sang Marbudyengrat, berkatalah Sang Dewa Ruci.
Sena matur pukulun yen makatena, kawula anuwun sih, saking tan uninga, puruhitaning badan, sasat sato wana inggih, tan mantra-mantra, waspadeng badan suci.
Artinya :
Sena berkata jika demikian, saya ingin meminta kasih, dan petunjuk karena tidak tahu, pengabdian diri ini sama seperti hewan hutan, tidak seberapa, waspada kepada badan yang suci.
Langkung muda punggung cinacad ing jagad, kesi-esi ing bumi, angganing curiga, ulun datanpa wrangka, wacana kang tanpa siring, ya ta ngandika, Manis Sang Dewa Ruci.
Artinya :
Lebih bodoh tolol dan penuh kekurangan di dunia, ditertawakan di mana-mana, bagaikan tubuh keris yang tanpa kerangka, perkataan tanpa batas, berkatalah dengan manis Sang Dewa Ruci.


sang sena bima sakti dalam lakon dewa ruci
Kidung Dhandhanggula
Lah ta mara Wrekudara aglis, umanjinga guwa garbaningwang, kagyat miyarsa wuwuse, Wrekudara gumuyu, sarwi ngguguk aturireki, dene paduka bajang, kawula geng luhur, nglangkungi saking birawa, saking pundi margane kawula manjing jenthik masa sedhenga.
Artinya :
Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar kata-katanya, Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak, katanya, tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin dapat masuk.

Dewa Ruci mesem ngandikaris, gedhe endi sira lawan jagad, kabeh iki saisine, alas myang gunungipun, samodra lan isine sami, tan sesak lumebuwa, ing jro garbaningsun, Wrekudara duk miyarsa, esmu ajrih kumel sandika turneki, mengleng Sang Ruci Dewa.
Artinya :
Dewa Rcuci terseyum dan berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci.

Iki dalan talingan ngong kering, Wrekudara sigra manjing karna, wus prapteng ing jro garbane, andulu samodra gung, tnapa tepi nglangut lumaris, ngliyek adoh katingal, Dewa Ruci nguwuh, heh apa katon ing sira, dyan umatur Sena pan inggih atebih, tan wonten katingalan.
Artinya :
Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat, Arya Sena berkata bahwa tampah jauh, tak ada yang tampak.

Awang-awang kang kula lampahi, uwung-uwung tebih tan kantenan, ulun saparan-parane, tan mulat ing lor kidul, wetan kulon boten udani, ngandhap nginggil myang ngarsa, kalawan ing pungkur, kawula datan uninga, langkung bingung Sang Dewa Ruci lingnyaris, aywa maras tyasira.
Artinya :
Langit luas yang kutempuh, langit yang sangat luas, aku pergi ke mana-mana, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah atas dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa Ruci berkata pelan, jangan taku tenangkan dirimu.

Byar katingal ngadhep Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku kawangwang, umancur katon cahyane, nulya wruh ing lor kidul, wetan kulon sampun udani, nginggil miwah ing ngadhap, pan sampun kadulu, kawan umiyat baskara, eca tyase miwah Sang Wiku kaeksi, aneng jagad walikan.
Artinya :
Tiba-tiba terang tampaklah Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku terlihat, memancarkan sinar, kemudian tahu utara selatan, timur barat sudah tahu, di atas dan dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati melihat Sang Wiku, di balik dunia ini.

Dewa Ruci suksma lingiraris, aywa lumaku andedulua, apa katon ing dheweke, Wrekudara umatur, wonten warna kawan prakawis, aktingal ing kawula, sadayane wau, sampun boten katingalan, amung kawan prakawis ingkang kaeksi, cemeng bang kuning pethak.
Artinya :
Dewa Ruci berkata lirih, jangan berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda yang tampak olehku, semua itu, sudah tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam merah kuning dan putih.

Sang Dewa Ruci ngandika malih, ingkang dhingin sira anon cahya, gumawang tan wruh arane, Pancamaya puniku, sejatine ing tyasireki, pangarsane sarira, tegese tyas iku, ingaranan muka sipat, kang anuntun marang sipat kang linuwih, kang sejatining sipat.
Artinya :
Sang Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan sifat itu sendiri.

Mangka tinulak aywa lumaris, awasena rupa aja samar, kawasaning tyas empane, tingaling tyas puniku, anengeri marang sajati, eca tyase Sang sena, amiyarsa wuwus, lagya medhem tyas sumringah, ene ingkang abang ireng kuning putih iku durgamaning tyas.
Artinya :
Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, senang hati Sang Sena, mendengarkan nasihat itu, ketika hatinya sedang bersuka-cita, sedang yang berwarna merah hitam kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Pan isine ing jagad mepeki, iya ati kang telung prakara, pamurunge laku kabeh, yen bisa pisah iku, pasthi bisa pamoring gaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng abang kuning samya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamoring Suksm Mulya.
Artinya :
Isi dunia ini sudah lengkap, yaitu hati tiga hal, pendorong segala langkah, bila dapat memisahkan tentu dapat menyatu dengan gaib, itu adalah musuh pendeta, hati yang tiga (curang), hitam merah kuning semua, menghalangi pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Sukma Mulia.

Lamun nora kawileting katri, yekti sida pamoring kawula, lestari panunggalane, poma den awas emut, durgama kang munggeng ing ati, pangwasane weruha, wiji-wijinipun, kang ireng lueih prakosa, panggawene asrengen sabarang runtik, andadra ngambra-ambra.
Artinya :
Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu akan terjadi persatuan kawula/rakyat, abadi dalam persatuan, perhatikan dan ingatlah, penghalang yang berada dalam hati, ketahuilah benih-benihnya, yang hitam lebih perkasa, kerjanya marah terhadap segala hal, murka secara menjadi-jadi.

Iya iku ati kang ngadhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang ireng iku gawene, dene kang abang iku, iya tuduh nepsu kang becik, sakehe pepinginan, metu saking ngriku, panas baran panastenan, ambuntoni marang ati ingkang eling, marang ing kawaspadan.
Artinya :
Itulah hati yang menghalangi, menutupi tindakan yang baik, yang hitam itu kerjanya, sedangkan yang merah, menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi kepada hati yang sadar, kepada kewaspadaan.

Dene iya kang arupa kuning, panggawene nanggulang sabarang, cipta kang becik dadine, panggawe amrih tulus, ati kuning ingkang ngadhangi, mung panggawe pangrusak, binanjur linantur mung kang putih iku nyata, ati anteng kang suci tan ika iki, prawira ing kaharjan.
Artinya :
Sedangkang yang berwarna kuning, kerjanya menanggulangi segala hal, pikiran yang baik jadinya, pekerjaan agar lestari, hati kuning yang menutupi, hanya suka merusak, kemudian yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian.

Amung iku kang bisa nampani, ing sasmita sajatining rupa, nampani nugraha nggone, ingkang bisa tumaduk, alestari pamoring kapti, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu balane tanpa wilangan, ingkang putih tanpa rowang amung siji, mulane gung kasoran.
Artinya :
Hanya itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, menerima anugrah tempatnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan, itu musuh pertapa, hati yang tiga (curang) kawannya sangat banyak, yang berwarna putih hanya seorang diri tanpa kawan, maka ia sering kalah.

Iya lamun bisa nembadani, marang sesuker telung prakara, sida ing kono pamore, tanpa tuduh puniku, ing pamore Kawula Gusti, Wrekudara miyarsa, sengkut pamrihipun, sangsaya birahinira, iya marang kauwusaning ngaurip, sampurnaning panunggal.
Artinya :
Memang bila dapat memenuhi, kepada tiga hal yang merusak di situlah letak persatuannya, tanpa pedoman tentang persatuan makhluk dan pencipta, Wrekudara mendengar, dengan giat ia berusaha, dengan penuh tekad, untuk mencapai pedoman hidup, demi kesempurnaan persatuan.

Sirna patang prakara na malih, urub siji wolu warnanira, Wrekudara lon ature, punapa wastanipun, urub siji wolu kang warni, pundi ingkang sanyata, pundi kang satuhu, wonten kadi retna muncar, wonten kadi maya-maya angebati, wonten abra markatha.
Artinya :
Setelah hilang empat hal itu ada lagi, nyala satu delapan warnanya, Wrekudara pelan bertanya, apakah namanya, nyala satu dengan delapan warna, mana yang nyata, mana yang sesungguhnya, ada yang seperti ratna bersinar, ada yang maya-maya bergerak cepat, ada manik-manik yang berkilat-kilat.

Marbudyengrat angling Dewa Ruci, iya iku sanyatane tunggal, saliring warna tegese, wus ana ing sireku, kabeh iya isining bumi, ginambar aneng sira, lawan jagad agung, jagad cilik, tan prabeda, purwa ana lor kulon kidul puniku, wetan luhur ing ngandhap.
Artinya :
Marbudyengrat berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua warna itu artinya sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini, digambarkan atas dirimu, dan dunia yang agung, jagad kecil tak berbeda, timur ada utara, barat dan selatan itu, timur luhur di bawah.

Miwah ireng abang kuning putih, iya panguripe kang bawana, jagad cilik jagad gedhe, pan padha isinipun, tinimbangken ing sira iki, yen ilang warna ingkang, jagad kabeh suwung, saliring reka tan ana, kinumpulken aneng rupa kang sawiji, tan kakung tan wanodya.
Artinya :
Dan hitam merah kuning putih, ialah kehidupan di dunia, alam kecil dan alam besar, memang sama isinya, pertimbanglanlah plehmu, bila hilang warna yang, semua alam akan sepi, semua usaha tidak akan ada, dikumpulkan atas satu rupa saja, tidak lelaki tidak perempuan.

Kadya tawon gumana puniki, kang asawang lir peputran dhenta, tah payo dulunen kuwe, Wrekudara andulu, ingkang kadya peputran gadhing, cahya muncar kumilat, tumeja ngenguwung, punapa inggih punika, warnaning Dzat kang pinrih dipun ulati, kang sajatining rupa.
Artinya :
Bagaikan lebah muda yang tampak bagaikan putih gading, marilah tengok, Wrekudara melihat, sesuatu yang bagaikan berputra putih gading, cahaya memencar berkilat, berpelangi melengkung, apakah gerangan itu, bentuk Dzat yang dicari, yang merupakan hakikat rupa.

Anauri ris Dewa Ruci, iku dudu ingkang sira sedya, kang mumpuni ambek kabeh, tan kena sira dulu, tanpa rupa datanpa warni, tan gatra tan satmata, iya tanpa dunung, mung dumunung mring kang awas, mung sasmita aneng ing jagad ngebeki, dinumuk datan kena.
Artinya :
Menjawab pelan Dewa Ruci, itu bukan yang kau cari, yang menguasai segala hal, tak boleh kau lihat, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berujud dan tidak tampak, ya tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini memenuhi, dipegang tidak dapat.

Dene iku kang sira tingali, kang asawang peputran mutyara, ingkang kumilat cahyane, angkara-kara murub, pan Pramana aranireki, uripe kang sarira, Pramana puniku, tunggal aneng ing sarira, naging nora milu suka lan prihatin, enggone aneng raga.
Artinya :
Sedang yang kau lihat itu, yang tampak seperti berputra mutiara yang berkilat cahayanya, memancar menyala-nyala, itulah yang bernama sang Pramana, kehidupan tubuhnya, sang Pramana menyatu dengan dirimu, tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuhmu.

Datan milu mangan turu nenggih, iya milu lara lapa, yen pisah saking enggone, raga kari ngalumpruk, yekti lungkrah badanireki, ya iku kang kuwasa, nandhangrasanipun, inguripun dening Suksma, iya iku sinung sih anandhang urip, ingaken rahsaning Dzat.
Artinya :
Tidak makan dan minum, juga tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga tinggal tak berdaya, sungguh badan tanpa daya, itulah yang mampu, merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia Dzat.

Iya sinandhangken ing sireki, nanging kadya simbar ing kakaywan, aneng ing reraga nggone, uriping Pramaneku, inguripun ing Suksma nenggih, misesa ing sabarang, Pramana puniku, yen mati melu kaleswan, lamun ilang Suksmane sarira nuli, Uriping Suksma ana.
Artinya :
Juga dikenakan kepadamu, tetapi bagaikan bulu pada hewan, berada di raga, kehidupan Pramana dihidupi oleh Suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang kemudian, kehidupan Suksma ada.

Sirna iku iya kang pinanggih, Uriping Suksma Ingkang Sanyata, kaliwatan upamane, lir rasane kamumu, kang Pramana anresandani, tuhu tunggal piangka, jinaten puniku, umatur Sang Wrekudara, inggih pundi warnane ingkang sajati, Dewa Ruci ngandika.
Artinya :
Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, terlalu upamanya, bagaikan rasa kemumu (kepinding), Pramana anresandani, sebenarnaya satu asal, dibuktikan hal itu, berkata sang Wrekudara, iya benar bagaimana warna yang sejati, Dewa Ruci berkata.

Nora kena iku yen sira prih, lawan kahanan samata-mata, gampang angel pirantine, Wrekudara umatur, kula nyuwun pamejang malih, inggih kedah uninga, babar pisanipun, pun patik ngaturaken pejah, ambebana anggen-anggen ingkang yekti, sampun tuwas kangelan.
Artinya :
Hal itu boleh kau ambil, dan keadaan semata-mata, mudah sulit sarannya, Wrekudara berkata, aku minta ajaran lagi, juga harus tahu, sama sekali, aku menyerahkan diri meminta dengan busana yang sebenarnya, janganlah tanpa hasil.

Yen makaten kula boten mijil, inggih eca neng ngriki, kewala, boten wonten sangsayane, tan niyat mangan turu, bopten arip boten angelih, boten ngrasa kangelan, boten ngeres linu, amung enak lan manfaat, Dewa Ruci ngandika iku tan keni, yen nora lan antaka.
Artinya :
Jika demikian saya tidak mau keluar, lebih baik tinggal di sini saja, tidak ada hambatannya, tidak akan makan dan tidur, tidak mengantuk juga tidak lapar, tidak mengalami kesulitan, tidak sakit-sakit ngilu, hanyalah enak dan manfaat, Dewa Ruci berkata itu tidak boleh, jika belum mengalami mati.

Sangsaya sihira Dewa Ruci, marang kaswasih ingkang panedha, lah iya den awas bae, mring pamurunging laku, aywana kekaremireki, den bener den waspada, ing anggepireku, yen wus kasikep ing sira, aywa umung den nganggo parah yen angling, yeku reh pepingitan.
Artinya :
Semakin banyak ajaran Dewa Ruci, kepada Sang Kaswasih, yang memintanya, wahai itu perhatikanlah, hal yang menggagalkan laku, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspadalah, dalam segala tingkah laku, jika semua sudah kau dapatkan, jangan gaduh dalam berbicara, itulah hal yang dirahasiakan.

Nora kena yen sira rasani, lawan sama-samaning manusa, yen nora lan nugrahane, yen ana nedya padu, angrasani rerasan iki, ya teka kalahana, aja kongsi banjur, aywa ngadekken sarira aywa ngraket mring wisayaning ngaurip, balik sikepen uga.
Artinya :
Tidak boleh kau bicarakan secara sembunyi-sembunyi, dan sesama manusia, bila tidak dengan anugrahnya jika berselisih, membicarakan bahan pembicaraan ini, lekaslah kau mengalah saja, jangan sampai berlarut-larut, jangan memajakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tetapi kuasailah.

Kawisayan kang marang ing pati, den kaasta pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere sinengker buweneku, rupa nora nan nguripi, datan antara masa, iya ananipun, panwus ana ing sarira, tuhu tunggal sasat ana ing sireki, wus dadi kekantenan.
Artinya :
Tentang keinginan untuk mati, peganglah dalam pemusatan pikiran, rupa yang sebenarnya, disimpan oleh buana, rupa tak ada yang menghidupi, tidak seberapa waktu, memang keberadaannya, sudah melekat pada diri, sungguh menyatu padu dengan dirimu, sudah menjadi kawan akrab.

Kidung Kinanthi

Tan kena pisahna iku, tan waneh praptanta nguni, tunggal Kartining Buwana, pandulu, pamiyarseki, iya wus ana ing sira, pamirsane Suksma Yekti.
Artinya :
Tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan duni, penglihatan dan pendengaran, juga sudah ada pada dirimu, pendengaran sukma sejati.

Tanpa karna lan pandulu, netra karnanta kinardi, kahanane aneng sira, lair suksma neng sireki, batin sira aneng Suksma, mangkene patrapireki.
Artinya :
Tanpa telinga dan mata, mata dan telinga diciptakan, untuk dirimu lahirlah sukma pada dirimu, batinmu dalam sukma bagitulah kenyataannya.

Pan kaya wreksa tinunu, ananing kukusing geni, sartane kalawan wreksa, lir toya alun jaladri, kadya menyak aneng puhan, raganira obah mosik.
Artinya :
Itu bagaikan kayu dibakar, asapnya muncul dari api beserta pohon itu, bagaikan air ombak lautan, bagaikan minyak dalam susu, tubuhmu bergerak leluasa.

Sarta nugraha satuhu, yen wruh ing paworireki, woring Gusti lan Kawula, sarta panuwunireki, Suksma kang sinedya ana, dening ta warnanireki.
Artinya :
Serta mendapatkan anugerah yang benar, jika tahu penyatuan ini, persatuan khalik dan makhluk, serta permintaanmu, sukma yang diharapkan ada, sedangkan bentuknya itu.

Wus aneng sira nggonipun, lir wayang sariraneki, barang saparipolahnya, saking dhadhalang kang kardi, kang minangka panggung jagad, kelir kang kinarya ngringgit.
Artinya :
Sudah ada pada dirmu, dirimu bagaikan wayang, segala gerak-gerik dari sang dalang yeng memainkan, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan wayang.

Pamolahing wayang iku, saking dhalang kang akardi, tumindak sarta pangucap, dhalang wisesa akardi tan antara moring karsa, jer iku datanpa warni.
Artinya :
Gerakan wayang-wayang dari ki dalang yang memainkan, berlaku dan berucap, dalang berkuasa antara perpaduan kehendak, karena hal itu tidak berbentuk.

Warna wus aneng sireku, upama paesan jati, ingkang angilo Hyang Suksma, wayanganira puniki, kang aneng jroning papaesan, jenenging kawula iki.
Artinya :
Warna dan bentuk sudah ada padamu, seumpama hiasan yang sejati, tempat bercermin Hyang Sukma, bayangannya itulah yang ada dalam hiasan, namanya makhluk ini.

Neng jro kaca rupanipun, luwih geng klepasan iki, gedhene kalawan jagad, ageng kalepasan iki, poma salembuting toya, pan lembut kamuksan iki.
Artinya :
Di dalam kaca rupanya, lebih besar dari yang diceritakan ini, daripada besar jagad, besar yang diceritakan ini, seumpama selembut tetes air, masih lebih kecil dan halus kematian.

Poma saciliking tengu, cilik ing kamusan ugi, lire luwih amisesa, iya mring sabarang kalir, lire ageng alitira, bisa nuksma ageng alit.
Artinya :
Seumpama sekecil kutu, lebih kecil kematian ini, sesungguhnya lebih menguasai, juga terhadap segala sesuatu, maksudnya besar kecilnya itu, dapat menjelma dalam kematian besar dan kecil pula.

Kalimputan kabeh iku, kang rumangkang aneng bumi, tuwin kang gumremet samya, tan pae sadaya sami kaluwihan kang sanyata, pan luwih ingkang nampani.
Artinya :
Semua itu tidak tahu karena tertutup, yang merangkak di tanah, serta yang melata, tak berbeda semua memiliki kelebihan nyata, yang merasa lebih banyak menerima.

Tan kena ngendelken iku, ing warah lan wuruk sami, den sanget panguswanira, wasuhen badanireki, weruha rungsiting tingkah, wuruk kang minangka wiji.
Artinya :
Tidak boleh menyombangkan diri, terhadap ajaran dan nasehat, hayatilah dengan sungguh-sungguh, basuhlah dirimu, ketahuilah segala rahasia tingkah, nasehat merupakan benih.

Poma kang winuruk iku, sengga papan parang curi, kang amuruk upamnya, kacang kedhelenireki, sinebar aneng sesela, yen watune tanpa siti.
Artinya :
Seumpama yang diajari misalnya papan batu atau cadas, yang menasihati umpamanya, kacang kedelai disebar di bebatuan, jika batu tanpa tanah.

Pasthi nora bisa thukul, yen wicaksana sireki, iya iku tinggalira, sirnakna ananireki, pan dadi tinggaling Suksma, rupa lan swaranireki.
Artinya :
Tentu tidak akan tumbuh, jika kau bijaksana, tinggalkan hal demikian itu, hilangkan adanya, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.

Swara ulihena iku, rupa mring kang darbe nguni, jer sira iku yektinya, ingaken sesulih ugi, nanging aja duwe sira, pakareman tyasireki.
Artinya :
Suara itu kembalikan, rupa kepada yang punya, pada pokoknya kau ini sesungguhnya, hanya dijadikan pengganti, tetapi janganlah kau punya, kegemaran dalam hatimu.

Liyane marang Hyang Luhur, dadi awak Suksma ening, tingkah obah osikira, iya iku dadi siji, ujer loro anggepira, yen dadi anggepireki.
Artinya :
Selain kepada Hyang Luhur, menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, karena dua hal telah kau anggap, sudah menjadi diri sendiri.

Yekti ngrasa loro iku, maksih was-was tyasireki, kena rengu sayektinya, yen wus wujud dadi siji, sakarenteke tyasira, ing saguh aja gumingsir.
Artinya :
Sesungguhnya akan merasakan dua hal itu, masih ragu dalam hati, akan menjadi lekas marah, jika sudah menyatu, setiap gerak, tentu juga merupakan kehendakmu.

Tinaken ananireku, ing sasejanira, prapti, wus kawengku aneng sira, jagad kabeh jer sireki, kinarya gegentenira, ing saguh aja gumingsir.
Artinya :
Terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada padamu, semua jagad ini karena dirimu, merupakan pengganti, dalam segala janji janganlah ingkar.

Yen wus mudheng sira tuhu, kabeh ing pratingkah iki, den wingit miwah den sasab tegesireki, pan pamer panganggonira, nanging ing batinireki.
Artinya :
Jika sudah paham, akan segala tanggungjawab, rahasiakan dan tutupilah maknanya, jangan pamerkan pakaianmu, tetapi dalam batinmu.

Sekedhap pan kudu emut, aywa kongsi kena lali, ing laire sasabana, kawruh kang patang prakawis, padha anggepen sadanya kalimane siji iki.
Artinya :
Sebentar pun harus kau ingat, jangan sampai kau terlupa, dalam kenyataan tutupilah, akan empat macam hal, anggaplah semuanya termasuk kelimanya ini.

Ingkang pramati satuhu, kangge kene kana ugi, lir mati sajroning gesang, lir urip sajroning pati, urp bae salaminya, kang mati puniku ugi.
Artinya :
Yang terbaik, untuk di sini dan di sana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga.

Ya iku kang marang nepsu, badanira iku darmi, ing lair anglakonana, katampan badanireki, paworing sawujud tunggal, pagene angrasa mati.
Artinya :
Ya itu yang menuju pada nafsu, badan sekedar melaksanakan secara lahir, diterima badan ini, perpaduan sewujud tunggal, mengapa merasa mati.

Wrekudara duk angrungu, pangandikanya Sang Yogi, tyaira padhang narawang, suka denira nampani, cipta katiban nugraha, nugraha wahyu sayekti.
Artinya :
Wrekudara setelah mendengar perkataan sang guru, hatinya terang-benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugrah, anugerah wahyu sesungguhnya.

Kadya sasngka puniku, katawengan dening riris, ciptaning wahyu nugraha, ima nirmala upami, sumilah rereged ilang angling malih Dewa Ruci.
Artinya :
Bagaikan rembulan terhalang oleh hujan, memikirkan wahyu nugraha, seumpama mendung suci, menyingkir kotoran kemudian hilang, berkata lagi Dewa Ruci.

Sena surupa sireku, iya kang sira lakoni, nora ana aji paran, kabeh wus kawengku ugi, tan ana ingulatana, kadigdayan guna sekti.
Artinya :
Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada aji paran, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan.

Kabeh-kabeh wus kapungkur, kaprawirannya ngajurit, karana tuhu tyasira, iya nggonira nglakoni, Sena umatur sandika, kapundhi mustaka kalih.
Artinya :
Semua sudah berlalu, keberanian dalam berperang, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan, Sena berkata sanggup, akan dicamkan di dalam hati dan pikiran.

Wrekudara Sudah Jernih Pikirannya ———-
Wau Dewa Ruci sampun, telas pamulangireki, Wrekudara wus tan kewran, denira sampun udani, namane ing badanira, solah lampahing ngajurit.
Artinya :
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara sudah tidak bingung lagi, semua sudah dipahami, merasuk kedalam diri, dalam segala ulah tanding.

Ardaning kang swara muluk, tanpa elar njajah bangkit, sawengkoning jagad traya, uga wus kawengku sami, pantes pamathining basa, lir upama sekar sari.
Artinya :
Sangat berlebihan suara membumbung, tanpa sayap dapat melanglang, segala penjuru jagad ini, sudah dikuasai juga, pantaslah susunan bahasanya, bagaikan sekumtum bunga.

Kekudhupe maksih kuncup, mangkya mekar mbabar sami wuwuh warna lan gandanya, kang Pancaretna wus keni, medal saking guwagarba, wus salin alamireki.
Artinya :
Kuntumnya masih kuncup, sekarang mekar mengembang semakin indah dan berbau harum, sang Pancaretna sudah diperbolehkan keluar keluar dari tubuh, sudah berganti alamnya.
SANG SENA BIMA SAKTI dalam lakon DEWA RUCI
Angulihi alamipun alam kamanungsanneki, Sang Dewa Ruci wus sirna, dinulu datan kaeksi, ngungun Raden Wrekudara, wasana suka ing galih.
Artinya :
Kembali ke alam kemanusiaan, Sang Dewa Ruci sudah sirna, dilihat tidak tampak, heran Raden Wrekudara, akhirnya gembira hatinya.

Cipta nugraha satuhu, lulus saking ing gandaning, jatining kasturi mekar, wus sirna papa ning galih, leksana salekering rat, pamulang kang angenomi.
Artinya :
Mengharap anugrah sejati, berhasil mendapatkan baunya, bunga kasturi yang mekar, hilanglah kekalutan hatinya, laksana selingkar dunia, ajaran kepada yang lebih muda.

Kidung Sinom

Ujar wruh patakanira, sirna nirmalaning galih, pan mung narima satitah, lir kadya angganireki, anggane busana di, sutra maya-maya alus, sinuksma ingemasan, sinesotnya manik, manik, Wrekudara weruh pakenaking tingkah.
Artinya :
Kata dengan mara bahayanya, hilanglah kesucian hati, bukankah hanya sekedar melaksanakan, seperti dirimu itu, tubuh dengan busana indah, sutra maya halus, diperhalus dengan emas, perhiasan manik-manik, Wrekudara tuhu hikmah tingkah demikian.

Mila sumping puspa kresna, winarnendah kang sarwa di, kintaki sekar sumekar, nama kasturi sajati, sekar kasturi jati pratandhanira, tan korup ing pangawikan: kenaka, kalih pancanaka lungid, angungkabi kabisan tan kaliruwa.
Artinya :
Maka menyunting bunga berwarna hitam, berwarna indah serba menawan, tersurat bunga mekar, bernama kasturi sejati, bunga kasturi sejati sebagai tanda, tak sesuai dengan kemampuan kuku, dengan ujung kuku yang tajam, mengungkap kemampuan tidak keliru.

Poleng bang bintulu lima, winarneng uraganeki, lancingan lan kampuhira, mangkana pangemutanneki, titika duking nguni, neng jro guwagrbanipun, Sang Dewa Ruci dennya mangerti ireng bang kuning pamurunge laku ngandhangi tyas arja.
Artinya :
Kain merah tampak catur merah, dihiaskan kepala, celana dan kain dodot, padahal sudah di ingat, perhatikan masa lalu, ketika masih di dalam tubuh Sang Dewa Ruci, dinasihati tentang warna hitam, merah, kuning, merupakan penghalang tugas dan merintangi hati yang berniat baik.

Kang warna putih ing tengah, sidaning pangangkuhneki, kalima ingkang ginambar, wus kaasta sadayeki sanalika tan lali, saking ambek satya tuhu, marma Sang Wrekudara karya ampung aling-aling, pambengkasing sumungah jub riyanira.
Artinya :
Yang berwarna putih di tengah, jadi sumber keangkuhan, kelima yang digambarkan, sudah dibaw semuanya seketika, tak akan terlupakan, oleh karena seorang satria yang baik, maka Sang Wrekudara, membuat tirai untuk bersembunyi, untuk membasmi kesombongan pada dirinya.

———- Tujuan Mati Yang Salah ———-
Kaesthi ing dalu siyang, kathah denira miyarsi, para wiku pratingkahnya, kang luput anggepireki, kawruh pangijabneki, wus bener panarkanipun, wasana tanpa dadya, kawilet tatrapanneki, ana ingkang mati dadya manuk engkuk.
Artinya :
Dipikirkan siang dan malam, banyak yang didengarnya, tentang tingkah para pertapa yang berpikiran salah, akan ilmu ijab, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, ada yang mati menjelma burung engkuk.

Mung malih kang pepencokan, kayu kang warnanira di, nagasari lan angsana, tanjung lan wreksa waringin, kang tuwuh aneng pinggiring pasar kang manuk engkuk, angungkuli wong pasar, pindha kamukten kang pinrih, pan kasasar iku anasar mbelasar.
Artinya :
Hanya memilih tempat hinggap, kayu yang berwarna baik, kayu nagasari dan anhsana, tanjung dan pohon beringin yang tumbuh di tepi pasar sang burung engkuk, melebihi orang-orang pasar, seperti mengharap kemuliaan, yang akhirnya tersesat dan terjerumus.

Ana nitis para raja, asugih rajabrana di, lawan sugih wanodya endah, tuwin sugih putra putri, ingkang arsa mengkoni, siji-siji karemipun, samyantuk kaluwihan, ing panitisira nenggih, yen mungguha Dyan Wrekudara tan arsa.
Artinya :
Anak yang menitis (reinkarsani) menjadi raja, yang kaya harta benda, dan memiliki banyak wanita cantik, serta mempunyai banyak putra-putri yang akan menguasai, setiap kesukaannya, semua mendapatkan kelebihan, dalam proses penitisan, bagi sang Wrekudara tidak akan.

Pan ana amung murih pribadya, iya sariraneki, sadaya iku ingaran, tibane tan pana yekti, pan durung nama jalmi, ingkang utama satuhu, kang mengkono anggepnya, pangrasanira ing nguni, nemu suka suka sugih singgih badanira.
Artinya :
Yang ada hanya pribadi, terhadap diri sendiri, semuanya dikatakan, jatuhnya tidak tepat benar, belum dapat disebut makhluk, yang sangat utama, demikianlah pengakuannya, yang dirasakan dahulu, menemukan suka kaya lagi berpangkat tinggi dirinya itu.

Tan wruh yen nemu deduka, kabanjur mangkono ugi, manitis ing sato kewan, tanpa wekas dennya nitis, tangeh tan manggih asil, tan mbabar pisani iku, luput kacakrabawa, saking karemireng nguni, pati panitisan koneng tibanira.
Artinya :
Tidak tahu jika mendapat marah (dimarahi), terlanjur demikian, ia menitis pada hewan-hewan, tanpa bekas titisannya, tak mungkin akan berhasil, tidak sama sekali, salah dalam perkiraan, oleh kegemarannya di masa lalu, mati menitis jatuhnya.

Tan kuwat parenging pejah, keron kasamaran ugi, mangsah wowor sambu samya, pan saking abotireki, ulah kamuksan titis wus datan nolih ing pungkur, bapa biyang lan suta, jroning mrih wekasan nenggih, yen luputa patakaning bumi pala.
Artinya :
Tidak kuat menuju matinya, bingung dan tertutup juga melawan secara menyamar bersatu dengan orang banyak, oleh terlalu beratnya, gerakan menuju matinya dan menitis tidak akan menoleh kebelakang, ayah, ibu dan anak, dalam mencapai akhir, jika salah menjadi petaka dunia.

Leheng aywa dadi jalma, sato gampang tingkahneki, tanpa tutur sirnanira, yen aris benering kapti, langgeng puniku ugi, tanpa karena satuhu, pama angga buwana, tan lir sela menengneki, eningira iya nora kadi tirta.
Artinya :
Lebih baik jangan jadi manusia, hewan lebih mudah bertingkah, tanpa kata-kata sirna, bila secara pelan akan menuju kebenaran tyjuan, abad itu juga, tanpa sarana sebenarnya, seumpama diri adalah dunia, tak sperti batu diam, jernihnya pun tidak seperti air.

Warata tanpa tuduhan, liyaning pandhita nganggepi, ing kamuksan peksanira, njangkung kasutapaneki, nyana ingangkuh keni, mung lan tapa tanpa tuduh, tanpa wit puruhita, suwunging ciptanireki, durung antuk pratikel wuruk kang nyata.
Artinya :
Merata tanpa petunjuk, selain pendeta menganggap, dlam kematian yang dipaksakan, mendukung kepertapaannya, mengira akan dapat dicapai, dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, kekosongan pikiran, belum mendapatkan petunjuk yang nyata.

Pratingkah angayawara, tapaning raga runting, denira amrih kamuksan, tanpa tutur sirnaneki, wuk tapanira ugi, dene kang lestari iku, tapa iku minangka, ragining sariraneki, ilmu iku iya kang minangka ulam.
Artinya :
Tingkahnya seenaknya sendiri, bertapa dengan merusak tubuh, dalam mencapai kamuksan, tanpa kata ia hilang, gagallah bertapanya itu, sedangkan yang dikatakan lestari, bertapa digunakan sebagai, ragi bagi tubuhnya, ilmu itu merupakan lauknya.

Yen tanpa ilmu tapanya, iya nora bisa dadi, lamun ilmu tanpa tapa, cemplang nora wurung dadi, asal puniku ugi, tan kawilet tatrapipun, kacagak bekanira, dadya keh pandhita sandi sinatengah wuruke mring cantrikira.
Artinya :
Jika bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, jika ilmu tanpa dijalankan, hambar tidak mungkin jadi, asal semua itu juga, tidak dililit oleh penerapannya, ditopang kesulitan, jadi banyak pendeta, setengah-tengah dalam memberikan ajaran kepada muridnya.

Cantrikira landhep prinyangga, wedharira kang linempit, raose punika mulya, ngaturaken guruneki, pemedharira nenggih, mung saking graitanipun, nguni-uni punika, durung mambu warah yekti saking dene tan eca ing manahira.
Artinya :
Muridanya pandai dengan sendirinya, ajaran yang disimpan dirasakan mulia, memberi tahu gurunya, ajarannya itu hannya dari pikiran, di masa lalu itu juga, belum pernah mendapatkan ajaran yang benar, jadi tidak enak dalam hatinya.

Dadya katur gurunira, gurune ngungun miyarsi, ngugemi ing aturira, sinemantakaken maring, wiku kang luwih-luwih pasthi anggepnya satuhu, iku wahyu nugraha, tiba ing angga pribadi, cantrikira pan lajeng ingaku anak.
Artinya :
Kemudian disampaikan kepada gurunya, gurunya heran mendengar hal itu, memegang teguh kata-katanya yang diperoleh dari, wiku yang punya kelebihan, tentu dianggap suatu kebenaran, itu wahyu anugrah, jatuh kepada dirimu, cantrik itu kemudian di akui sebagai anak.

Tinari sinungga-sungga, marang ing guruneki, guru yen arsa amejang, ………. tan tebih sinandhing linggih, cantrik sabatireki, satemahan dadya guru, gurune dadya sabat, lepas panggraiteng batin, nandukaken sarta kang wahyu nugraha.
Artinya :
Ditanya mau atau tidak untuk diangkat oleh gurunya, jika gurunya akan memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, kemudian menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabatnya, kemudian menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabat, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.

Yeku utama kalihnya, kang satengah pandhiteki, durung sekti tapanira, kaselak tyasira nuli, ngaku wiku linuwih saujare kudu tinut, lumaku sinembaha nggenira neng puncak wukir swaranira nguwuh ngebeki pratapan.
Artinya :
Itu keutamaan bagi keduanya, pendeta yang setengah-setengah, belum sakti dalam bertapa, terburu hatinya lalu, mengaku sebagai pendeta sakti setiap katanya harus dianut, berjalan-jalan disembah, tinggal di puncak gunung, bersuara keras memenuhi pertapaan.

—————- Pralambang Ilmu Sejati —————-
Lamun ana wong marak, ndharidhit wekasireki, lir gubar bendhe tinatab, kumarampyang tanpa isi, tuna denira sami, ngeguru pandhita bingung, iku aja mangkana, tingkahing ngurip puniku, badan iki bisa kadi wayang.
Artinya :
Bila ada orang yang menghadap kepadanya, panjang lebar pesan yang diberikannya, bagaikan gong yang dipukul, banyak yang dikatakan tetapi tanpa isi, semua menjadi rugi, berguru kepada pendeta bingung, janganlah kau begitu, tingkah manusia hidup, usahakan dapat seperti wayang.

Kinudang neng pepanggungan, neng kelir denira ngringgit, arja tali banyunira, padhanging panggungireki, damar surya lan sasi, kelirira alam suwung, ingkang ananggap cipta, bumi gadebogireki, adegira wayang sinangga kang nanggap.
Artinya :
Dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, yang merupakan lampu panggungnya, adalah matahari dan rembulan, dengan layarnya berupa alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan.

Neng dalemira kang nanggap, pangulah karsa tan mosik, pramana dhadhalangira, marang adeging kang ringgit, ana ugi dul lor tuwin, ngulon mangetan puniku, iku ta pamanira, mangkana kang sarireki, solah kendel sinolahaken ki dhalang.
Artinya :
Ketika dirumah orang yang menonton, pengolah kehendak mengolah karsa yang tidak tergerakkan, kecerdikan kidalang, atas gerak-gerik sang wayang, ada juga selatan utara, barat serta timur, itulah umpanya, demikianlah tubuhnya, gerak dan diamnya dimainkan oleh ki dalang.

Ingucapken yen kumecap, tinutur sakarsaneki, kang nonton ing solahira, yen saking dhalang kang kardi, kang aneng ngandhap kelir, mangkana jagad tan ana wruh, kang nanggap tan katingal, aneng jro wismaneki, tanpa warna Hyang Suksma tan katingalan.
Artinya :
Disuarakan bila harus berkata-kata, dikatakan segala kehendaknya, yang melihat ulahnya, bahwa itu dari ki dalang, yang berada dibalik layar, padahal jagad tidak ada yang tahu, yang menonton tidak terlihat, di dalam rumahnya, tanpa bentuk Hyang Sukma tidak tampak.

Sang Pramana dennya mayang, ngucapken lampahing ringgit, tan awas sasananira, wimbuh pan nora tut wuri, ing sariraneki, menyak munggeng puhan iku, lir geni munggeng wreksa, tan katedah andherpati, kang Pramana kadya gesenging kang wreksa.
Artinya :
Sang cerdik dalam menjalankan wyang-wayangnya, menyampaikan laku-laku wayang, tidak jelas tempatnya, dan lagi tidak mengikuti di belakang, dalam dirinya, minyak yang bercampur dalam susu, bagaikan api dalam kayu, tidak ditunjukkan untuk tidak takut mati, sang cerdik bagaikan kayu yang sudah hangus.

Lelandhesan sami wreksa, panggrit molah dening angin, kayu geseng kukus medal, tan antara kukus agni, saking kayu wijiling, wruha eling mulanipun, kabeh ingkang gumelar, saking heb manusa jati, kang tinitah luwih pan ingaken rahsa.
Artinya :
Bertumpukan sesama kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semua yang tergelar, oleh perlindungan manusia jati, yang ditakdirkan lebih diakui sebagai rahasia.

Kinarya mulya pribadya, sasamanireng dumadi, aja mengeng ciptanira, tunggal saparibawaneki, kabeh isining bumi, anggep siji manuseku, mengku sagung kahanan, den wrh wisesaning tunggil, anuksmani saliring jagad dumadya.

termangu sang bima di tepian samudera dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis tak ada lagi tempat bertanya sesirnanya sang naga nemburnawa
dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.
menghampir sang dewa ruci sambil menyapa: ‘apa yang kau cari, hai werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini di tempat sesunyi dan sekosong ini’
terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri setelah melihat sang penanya ia bergumam: ‘makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
sang sena semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. dan siapa sebenarnya diriku ini
ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat yang tahu segalanya tentang dirimu anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka. yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka. datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya agar tidak mengalami kegelapan seperti ini terasa bagai keris tanpa sarungnya
sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup ingatlah pesanku ini senantiasa jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipnya. tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba bertindak tanpa tahu asal tujuan sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku. lanjut sang marbudyengrat
sang sena tertegun tak percaya mendengarnya ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
kelingking pun tak akan mungkin muat. wahai werkudara si dungu anakku, sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika, dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci yang telah terangsur ke arahnya
heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata
dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. apakah gerangan semua itu?
ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah), penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. cahaya empat warna, itulah warna hati hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. hanya si putih-lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna, ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. sering disebut jagad agung jagad cilik
dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
bukan, anakku yang dungu, bukan, berusahalah segera mampu membedakannya zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat, tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya. dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, ialah yang merawat raga tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda, di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
maka habislah wejangan sang dewaruci, sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan bagaikan kuntum bunga yang telah mekar. menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
dan blassss . . . ! sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
MAKNA SERAT DEWA RUCI
Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama “angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan” .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi, kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu. Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.
Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu: Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu – Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh. Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.”Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
“Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur,” kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan.
O Gilgamesh, whither do you fare? O Gilgamesh, apa yang akan kau kerjakan? The life you seek, you will not find Hidup yang kau cari, tak akan kau temukan When the gods created man, Saat tuhan menciptakan manusia They apportioned death to mankind; Mereka menunjukkan mati pada umat manusia And retained life to themselves Dan memberi pemahaman pada hidup mereka O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night; Kawinilah siang dan malam Make of each day a festival of joy, Buatlah setiap hari sebuah festifal hura-hura Dance and play, day and night! Berdansa dan bermainlah, setiap siang dan malam Let your raiment be kept clean, Jagalah kesuciannya Your head washed, body bathed, Kepala dan tubuh yang bersih dan tercuci Pay heed to the little one, holding onto your hand, Pegang dengan tanganmu Let your wife delighted your heart, Biarkan isterimu memegang jiwamu For in this is the portion of man Inilah bukti kemanusiaanmu
Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada “the portion of man”.Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai, dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu. Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian …….Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena. Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak. Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”. “Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah”. Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati. Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani. Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :”Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan. Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata, Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya. Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya. Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.

sampun titi wancinipun minggah ing sanggar pamujan nggayuh pakarti luhur manungso jati..mahening suci lungguhing pribadi..mawas raos sak jeroning bathos madhep mantep manther ..manembah mring gusti kang moho suci.@ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35) @Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (QS. 24:36)@. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS. 24:37) @.Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) (QS. 18:109).@Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". (QS. 18:110) agungpambudi72 jumat 02/04/2010